Alasan Investor Pilih Investasi AI di Malaysia: Orang Indonesia Pelit

ANTARA/Virna P Setyorini.
Sudut di Kuala Lumpur Malaysia, Minggu (31/3/2024).
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Yuliawati
24/10/2024, 16.08 WIB

Investasi infrastruktur kecerdasan buatan alias AI di Indonesia masih kalah dibanding Malaysia. Investor menyebut penghalang tumbuhnya teknologi AI karena kurangnya insentif dari pemerintah dan warga Indonesia yang cenderung pelit mengeluarkan uang untuk membayar produk.

Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures, Jeffrey Joe, menjelaskan pembangunan infrastruktur, apalagi AI sangat bergantung pada pemerintah setempat. Salah satu infrastruktur yang berperan dalam pengembangan AI adalah pusat data atau tempat menyimpan big data yang kemudian diolah AI untuk memberi insight kepada perusahaan.

“Itu mengapa kami melihat aktivitas investasi (AI) di Malaysia lebih tinggi. Mungkin pemerintah Malaysia punya lebih banyak insentif untuk industri ini,” ujar Jeffrey dalam Tech in Asia Conference di Ritz-Carlton Ballroom, Jakarta, Kamis (24/10).

Partner dari perusahaan modal ventura asal Singapura Square Peg Capital, Piruze Sabuncu, menyebut penghambat investasi di Indonesia karena penduduknya dikenal enggan untuk membayar. “Sayangnya yang berbeda di Indonesia, orang-orangnya pelit. Mereka bakal membandingkan harga yang mereka bayar, sehingga tidak ada urgensi membayar dan menggunakan jasa ini,” kata Piruze dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, Piruze bilang Malaysia punya sejarah semikonduktor yang lebih lama dari Indonesia. Material ini digunakan untuk membuat chip yang dipakai AI untuk memproses data.

Ia juga menjelaskan, seluruh dunia punya akses chip NVIDIA, Amazon Web Services, Google Cloud Platform, dan perusahaan cloud lainnya untuk mengembangkan AI. Hal ini bisa menciptakan peluang untuk vertikal Software as a Service alias SaaS atau perangkat lunak yang bisa digunakan oleh perusahaan alih-alih audiens luas.

Dengan dua hambatan ini, Jeffrey bilang Indonesia sudah kalah dari Malaysia dari sisi infrastruktur AI. Namun, menurutnya masih ada peluang besar untuk penggunaan AI di Indonesia

“Saya tidak tahu bagaimana cara kita bisa mengejar posisi Malaysia (tentang infrastruktur), tapi kita bisa kejar dari sisi penggunaan SaaS misalnya. Awalnya itu mulai di Amerika, dan bisa masuk ke Indonesia karena adopsi dan penyebaran AI kita lebih cepat dan besar,” ujarnya.

Berikut perbandingan investasi perusahaan global dalam infrastruktur AI di Malaysia dan Indonesia:

Microsoft

Pada Mei 2024, Microsoft berinvestasi US$ 2,2 miliar atau Rp 33,6 triliun ke Negeri Jiran untuk ekspansi infrastruktur AI. Indonesia sudah lebih dulu sebulan menerima investasi untuk membangun layanan cloud dan infrastruktur AI dari Microsoft. Namun jumlahnya lebih kecil, yakni US$ 1,7 miliar atau Rp 25,9 triliun.

Google

Di bulan yang sama, Google berinvestasi US$2 miliar atau Rp30,5 triliun di Malaysia untuk membangun pusat data dan cloud pertama di negara itu.

Sedangkan di Indonesia, Google baru hari ini (2/10) memberi hibah US$2 juta atau setara Rp30 miliar untuk organisasi nonprofit bidang pertanian Edu Farmers International Foundation yang berlokasi di Jakarta. Hibah ini bakal diberikan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi 200 ribu petani Edu Farmers dengan menggunakan kemampuan AI.

ByteDance

Induk usaha TikTok ini sudah mengeluarkan duit US$ 2,13 miliar untuk membangun hub AI di Malaysia pada Juni lalu. Hingga kini, ByteDance belum ada berinvestasi terkait AI di Indonesia.

Reporter: Amelia Yesidora