Dampak Kabinet Gemuk Prabowo: Risiko Kompetisi Internal hingga Masalah Birokrasi

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Presiden Prabowo Subianto (kanan) berjabat tangan dengan Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar (tengah) usai pelantikan menteri dan kepala badan setingkat menteri dalam Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024).
25/10/2024, 15.09 WIB

Central for Strategic and International Studies (CSIS) mengomentari komposisi gemuk kabinet Prabowo Subianto. Mereka mengatakan kabinet gemuk ini bisa berimplikasi pada kompetisi internal hingga perebutan akses pada program strategis pemerintah.

Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes mengatakan implikasi pertama adalah perebutan akses kepada program strategis yang berdampak kepada pemilih menjelang 2029.

"Karena kita lihat sebagian dari menteri dan wakil menteri adalah elit partai politik," kata Arya saat menyampaikan paparan media briefing bertajuk ‘Merespons Kabinet Prabowo-Gibran: Implikasi, Risiko, dan Masukan’ pada Jumat (25/10).

Dampak kedua, kabinet gemuk berpotensi mendatangkan kompetisi internal terutama menjelang Pemilu 2029. Apalagi biasanya partai mulai bekerja untuk pemenangan pada tahun ketiga sebuah pemerintahan.

"Tahun pertama mungkin masih restrukturisasi nomenklatur dan administrasi, tahun kedua mulai bekerja," katanya.

Dampak ketiga, adanya kemungkinan menteri dan wakil menteri terafiliasi kelompok bisnis tertentu. Oleh sebab itu, ia berharap anggota kabinet meminimalkan konflik kepentingan.

Sedangkan dampak keempat, gemuknya komposisi kabinet berpotensi direspons Dewan Perwakilan Rakyat dengan meminta tambahan jumlah kursi. Saat ini, jumlah kursi DPR sudah bertambah menjadi 580.

"Bisa jadi dengan kondisi sekarang, DPR akan termotivasi menambah jumlah anggota," kata Arya.

Sedangkan Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Adinova Fauri mengayakan gemuknya kabinet Prabowo bisa berdampak pada kinerja pemerintahan. Ia mengatakan pemisahan beberapa kementerian dan lembaga bisa mengakibatkan tumpang tindih kewenangan.

"Itu tugas berat satu tahun ke depan untuk membenahi proses birokrasi," kata Adinova.

Akomodasi Banyak Pihak

Arya mengatakan secara komposisi parpol, jumlah partai pendukung Prabowo cenderung lebih sedikit dibandingkan saat periode dua kepemimpinan Joko Widodo pada 2019-2024.

Meski begitu, jumlah kementerian dan lembaga di Kabinet Merah Putih pimpinan Prabowo lebih banyak dari total anggota Koalisi Indonesia Maju pimpinan Jokowi.

Persentase jumlah partai parlemen pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024 hanya 45,39%, terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN. Mereka juga mendapatkan dukungan dari parpol non parlemen seperti PBB, PSI, Garuda, Gelora dan Prima.

Seusai menang pilpres, susunan koalisi pendukung Prabowo-Gibran naik menjadi 69,14% dari tambahan dukungan PKS dan PKB yang bergabung ke Kabinet Merah-Putih.

Arya menganggap, situasi tersebut merupakan imbas dari posisi parpol pendukung utama Prabowo, yakni Gerindra yang hanya meraih 86 dari 580 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dia juga melihat, susunan tim kampanye Prabowo-Gibran yang besar juga berimbas pada menggemuknya anggota Kabinet Merah Putih.

Faktor utama gemuknya Kabinet Merah Putih adalah keinginanPrabowo untuk memastikan stabilitas politik di masa pemerintahannya. Prabowo juga mengajak para kader parpol non parlemen seperti PSI, PBB, Garuda, Prima dan Gelora untuk menduduki jabatan di Kabinet Merah Putih. Baik sebagai menteri maupun wakil menteri.

“Dia juga mengajak kelompok bisnis, keagamaan, relawan hingga mantan aktivis mahasiswa serta tokoh media dan HAM," ujar Arya.

Sebagai perbandingan, pada 2019, Jokowi mendapat dukungan dari koalisi parpol parlemen 60,7%. Parpol yang mendukung adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, PKB, NasDem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu