4 Poin Putusan MK Soal Pilkada: Denda PNS Tak Netral Rp6 Juta, Kans Coblos Ulang

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi enam anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra (ketiga kiri), Enny Nurbaningsih (ketiga kanan), Arsul Sani (kedua kiri), M Guntur Hamzah (kedua kanan), Daniel Yusmic P Foekh (kiri), dan Arief Hidayat memimpin sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
15/11/2024, 15.29 WIB

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sejumlah putusan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Ketentuan itu berkaitan dengan sejumlah hal seperti netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI Polri serta pelaksanaan pilkada ulang. 

Dalam putusannya, MK memasukkan sejumlah norma baru sehingga perlu menjadi perhatian sebelum pelaksanaan Pilkada. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Pilkada serentak bakal digelar pada 27 November 2024. 

PNS Tak Netral di Pilkada Bisa Dijerat Pidana

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda. Tidak netral yang dimaksud MK adalah  membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon di pemilihan kepala daerah (Pilkada). 

Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 seperti dikutip, Jumat (15/11). 

Menurut MK, Pasal 188 UU 1/2015 merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. Dalam perkembangannya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1).

Pasal 188 UU 1/2015 berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.

Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat “Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.

Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri". Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.

Sebelumnya UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015. Kondisi ini, menurut MK, menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.

Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar. Karena norma pada kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang berpasangan, norma Pasal 188 UU 1/2015 harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan perinci agar tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya.

"Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK.

MK menyatakan ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder di antara kedua pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi. Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

MK Ubah Ketentuan Surat Suara untuk Calon Tunggal 

Hal lain yang menjadi putusan MK berkaitan dengan ketentuan desain surat suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan satu pasangan calon atau calon tunggal. MK menetapkan berlakunya model plebisit pada Pilkada 2029.

MK menyatakan bahwa pilkada calon tunggal dengan menggunakan surat suara yang memuat nama dan foto pasangan calon serta dua kolom kosong di bagian bawah yang berisi atau memuat pilihan untuk menyatakan "setuju" atau "tidak setuju" terhadap satu pasangan calon tersebut. Dengan begitu tidak akan ada lagi pencoblosan kotak kosong. 

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh mahasiswa dan karyawan swasta bernama Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Salah satu pokok permohonan para pemohon berkaitan dengan desain surat suara dalam Pasal 54 C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

MK menyimpulkan dalil permohonan para pemohon terkait dengan desain surat suara tersebut beralasan menurut hukum sebagian. Oleh karena itu, MK menyatakan Pasal 54 C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 inkonstitusional bersyarat.

Dalam pertimbangannya, MK menyoroti keterangan dalam surat suara yang digunakan pada pilkada calon tunggal saat ini yang berbunyi "Coblos pada: Foto pasangan calon atau kolom kosong tidak bergambar". Menurut MK, narasi keterangan tersebut bukan suatu bentuk narasi yang utuh dan komprehensif dalam penyajian suatu pilihan sebab keterangan tersebut tidak dilengkapi dengan narasi yang menggambarkan implikasi dari masing-masing pilihan.

Mahkamah menilai narasi keterangan dimaksud dapat menimbulkan mispersepsi bagi pembaca, mengingat tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan tempat untuk menyatakan pilihan tidak setuju terhadap calon tunggal. MK berpendapat bahwa kesalahpahaman akibat ketiadaan informasi atau penjelasan yang utuh dalam keterangan yang dimuat pada desain surat suara untuk pilkada calon tunggal secara langsung akan berdampak pada para pemilih dalam mengambil keputusan.

"Akibatnya, terdapat potensi ketidakseimbangan dalam memilih. Dalam hal ini, yang lebih diuntungkan adalah pilihan yang lebih banyak memuat informasi, seperti pilihan kolom yang memuat foto pasangan calon, lengkap dengan nama calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga cenderung lebih menarik para pemilih," tutur Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Dalam batas penalaran yang wajar, MK menilai desain surat suara yang demikian tidak memberikan keseimbangan dalam pilkada yang demokratis dan jauh dari asas-asas pemilu yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945. Untuk memberikan keseimbangan agar asas-asas pemilu tergambar dengan benar dalam pilkada calon tunggal, MK tetap pada pendiriannya yang menghendaki agar kontestasi pilkada calon tunggal kembali menggunakan model plebisit, yakni model yang meminta para pemilih untuk menentukan "setuju" atau "tidak setuju" dengan calon tunggal.

Pada pertimbangannya, MK juga menyoroti fakta bahwa Pilkada 2024 telah memasuki tahap menjelang pemungutan suara dan tahapan pencetakan surat suara telah dilakukan sehingga model desain surat suara yang diubah oleh MK tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pada pilkada tahun ini. "Oleh karena itu, desain atau model surat suara baru dengan model plebisit dalam pilkada dengan satu pasangan calon dimaksud, mulai diberlakukan pada Pilkada 2029," imbuh Saldi.

MK Buka Peluang Pilkada Ulang 

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) diulang paling lama satu tahun setelah kotak kosong pada pilkada calon tunggal dinyatakan menang. Selain itu, MK juga menyatakan kepala dan wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan ulang dimaksud, memegang masa jabatan sampai dilantik kepala dan wakil daerah hasil pilkada serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu lima tahun sejak pelantikan.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Ketentuan tersebut merupakan pemaknaan baru MK terhadap Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh mahasiswa dan karyawan swasta bernama Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. 

Salah satu pokok permohonan para pemohon berkaitan dengan kejelasan frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada. Pada dasarnya, Pasal 54D UU Pilkada mengatur soal tindak lanjut hasil pilkada dengan satu pasangan calon atau dikenal juga dengan istilah pilkada calon tunggal.

Pasal 54D ayat (1) mengamanatkan, KPU menetapkan pasangan calon terpilih pada pilkada calon tunggal jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Apabila perolehan suara pasangan calon tunggal kurang dari syarat itu, pasangan calon tersebut boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya, sebagaimana diatur Pasal 54D ayat (2).

Sementara itu, Pasal 54D ayat (3) mengatur bahwa pemilihan berikutnya diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undang. Hal inilah yang dipersoalkan oleh para pemohon karena dinilai tidak memiliki kepastian hukum yang adil.

MK mengatakan, desain waktu pemilihan berikutnya yang diatur dalam Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada dirumuskan oleh DPR dan pemerintah bukan dalam model desain pilkada serentak secara nasional, seperti yang diterapkan pada Pilkada 2024 ini. Oleh karena itu, di samping memuat frasa “pemilihan berikutnya”, pasal itu juga memuat “tahun berikutnya”.

Menurut MK, kedua frasa tersebut harus dimaknai dengan tidak melepaskan hakikat keserentakan penyelenggaraan pilkada dan tidak diperbolehkan penjabat atau pelaksana tugas kepala daerah menjabat terlalu lama. Atas dasar itu, menurut MK, pemaknaan frasa “pemilihan berikutnya” dan “tahun berikutnya” dalam norma Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada menjadi “pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama satu tahun sejak pemungutan suara 27 November 2024”.

MK Tolak Uji Materi Blank Spot 

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan permohonan uji materi soal penyediaan kotak suara kosong (blank vote) di pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan lebih dari satu pasangan calon atau tidak hanya di pilkada calon tunggal. Hal itu termuat dalam Putusan Nomor 125/PUU-XXII/2024. 

Ketua MK Suhartoyo mengatakan tidak adanya pilihan blank vote dalam pilkada dengan lebih dari satu calon tidak mengurangi hak memilih. "Tidak ada hak pilih yang hilang atau terganggu dengan tidak adanya blank vote pada pemilihan kepala daerah dengan lebih dari satu pasangan calon," kata Suhartoyo.

Menurut MK, blank vote merupakan jalan keluar dari kekosongan hukum yang akan terjadi pada pilkada calon tunggal. Pasalnya, jika blank vote tidak ada pada pilkada calon tunggal, pemilihan akan ditunda sampai pilkada berikutnya sehingga tidak ada kontestasi.

Dijelaskan pula oleh MK, calon tunggal adalah upaya terakhir demi memenuhi hak konstitusional warga negara. Karena pemilihan dengan calon tunggal tidak ada kontestan lain, maka rakyat diminta untuk menentukan pilihannya apakah setuju atau tidak setuju dengan pasangan calon tunggal tersebut.

Pertimbangan Mahkamah tersebut menetapkan bahwa blank vote dalam pilkada calon tunggal menjadi sebuah pilihan atau alternatif terakhir demi menyelamatkan hak memilih warga negara yang terancam tidak dapat terpenuhi. Namun begitu, MK menegaskan, blank vote bukan suatu pilihan yang ideal. Menurut Mahkamah, hal yang harus diutamakan adalah pemilihan dengan kompetisi sehat yang terdiri dari lebih dari satu pasangan calon.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu