Komposisi Pimpinan KPK Pilihan DPR Dinilai Kikis Independensi Lembaga

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memasukkan kertas suara saat voting pemilihan dan penetapan calon pimpinan (Capim) KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Penulis: Ade Rosman
21/11/2024, 18.14 WIB

Komposisi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2024-2029 yang ditetapkan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (21/11) menuai kritik.  Pemilihan yang  dilakukan melalui voting itu dinilai mencederai semangat yang awal pendirian KPK.

Penetapan lima pimpinan KPK terpilih dilakukan DPR usai uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap 10 calon pimpinan yang diajukan panitia seleksi pada Senin (18/11) dan Selasa (19/11). Dari hasil voting itu didapatkan hasil Komjen Setyo Budianto terpilih sebagai ketua KPK dengan mengantongi 47 suara. 

Nama lainnya yang mendapat suara tertinggi yakni Fitroh Rohcahyanto dan Johanis Tanak yang masing-masing mendapatkan 48 Suara. Dua calon lainnya yang mendapat suara terbanyak adalah Ibnu Basuki Widodo dan Agus Joko Pramono. Ibnu mengantongi 32 suara dan Agus mengantongi 38 suara. 

Kritik atas komposisi pimpinan KPK periode 2024-2029 itu salah satunya datang dari Setara Institute. Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi menilai, susunan pimpinan KPK pilihan DPR ini mengikis sifat independensi DPR. Hal itu tercermin dari latar belakang calon pimpinan terpilih.

"Dari unsur kepolisian, kejaksaan, hakim dan mantan anggota BPK, secara politik telah mengikis sifat independensi KPK, sebagai lembaga negara yang masuk kategori constitutional important body dan independen," kata Hendardi seperti dikutip Kamis (21/11).

Hendardi menilai DPR sengaja memilih calon-calon yang memiliki afiliasi organisasi. Hal itu memungkinkan adanya pengendalian sikap, tindakan, dan pengendalian kehendak-kehendak tertentu dalam pemberantasan korupsi.

"Seharusnya DPR RI memahami bahwa KPK dibentuk sebagai auxiliary state institution dan antitesis atas kinerja ordinary state institution, yakni kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya dianggap tidak akuntabel dalam pemberantasan korupsi," kata dia.

Ia menyayangkan pilihan DPR terhadap lima pimpinan KPK yang memiliki patronase organisasi dan patronase personal hirarkial pada lembaga-lembaga pemerintahan. Sikap ini menurut dia  menyempurnakan pelemahan KPK sebagaimana UU 19/2019, setelah revisi UU KPK di 2019. 

Hendardi mengatakan, representasi calon perwakilan masyarakat sipil sebagai penanda dan variabel penjaga independensi KPK sama sekali tidak ditimbang oleh DPR. Padahal menurut dia, adanya pimpinan dari masyarakat sipil menjadi penanda ikhtiar minimal menjaga independensi KPK.

Menurut Hendardi, komposisi pimpinan KPK baru ini akan sulit mendapat kepercayaan publik. Padahal menurut dia situasi KPK saat ini dalam posisi lemah di mata publik.

"Dalam situasi seperti ini sangat dimaklumi dan dihargai jika banyak muncul mosi tidak percaya dari publik terhadap KPK 2024-2029 dan juga DPR RI periode sekarang khususnya Komisi 3 DPR," kata dia. 

Reporter: Ade Rosman