Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Abdul Kadir Karding, mengungkapkan bahwa sekitar 95% pekerja migran Indonesia (PMI) menjadi korban penyelundupan dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) saat bekerja di luar negeri.
"Berdasarkan data yang kami lihat rata-rata 90-95 persen PMI kena masalah, yaitu non-prosedural, human traficking, hingga intimidasi," kata Karding dikutip Antara, Kamis (26/12).
Dengan tingginya angka pekerja migran melalui proses ilegal itu, PPMI akan menargetkan peningkatan skill dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) sebagai pekerja di luar negeri. Ia menjelaskan, saat ini Indonesia hanya mampu memenuhi permintaan tenaga kerja ke luar negeri sebanyak 287.000 dari kuota 1,3 juta pekerja prosedural dengan memiliki keahlian yang baik.
"Ke depan kita akan memaksimalkan dan berusaha untuk penempatan kerja yang memiliki skill dan prosedural," ungkapnya.
Masalah penempatan pekerja migran di luar negeri akan terus menjadi fokus utama pemerintah. PPMI berkomitmen untuk secara konsisten memberantas mafia dan oknum yang terlibat dalam TPPO serta penyelundupan pekerja ilegal.
Selain itu, untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi PMI di masa depan, pemerintah akan melakukan analisis mendalam terhadap masalah yang ada dan potensi yang bisa dioptimalkan, demi memberikan dampak positif bagi negara, bangsa, dan masyarakat.
"Langkah preventif yang pertama itu pelayanan harus dimaksimalkan, kemudian harus ada kampanye secara masif terkait dengan pemberangkatan kerja secara prosedural dan aman, dan kita sekarang sudah bekerja sama dengan seluruh pemerintah daerah, baik tingkat desa, pemerintah kabupaten atau kota, maupun pemerintah provinsi untuk penanganan masalah itu," paparnya.
Kementerian PPMI, untuk meminimalkan kasus tenaga kerja non-prosedural, ujar Karding, akan meningkatkan kerja sama dengan berbagai negara yang dianggap aman, seperti Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya.
"Kasus yang paling banyak itu memang di negara Timur Tengah seperti Arab Saudi. Namun, saat ini sedang moratorium. Berikutnya Malaysia itu paling banyak. Akan tetapi, kita juga akan memperbaiki sistemnya agar tidak ada lagi kasus-kasus," kata Karding.