Mahkamah Agung (MA) akan menggunakan sistem robotik dalam skema penunjukan hakim dalam menangani suatu perkara. Hal ini sebagai upaya menekan terjadinya potensi korupsi.
Juru bicara MA, Yanto mengatakan, hal ini merupakan salah satu poin yang dihasilkan dari rapat pimpinan MA pada Senin (14/4). "Mahkamah Agung segera menerapkan aplikasi penunjukkan majelis hakim secara robotik 'Smart Majelis' pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding," kata Yanto dalam konferensi pers, Senin (14/4).
Hal ini menanggapi terjadinya dugaan suap dan atau gratifikasi penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyeret hakim.
Penggunaan sistem ini diharapkan dapat menihilkan praktik curang berupa penunjukkan majelis berdasarkan pesanan. Namun, sistem ini belum dapat digunakan karena masih aplikasinya perlu dibangun.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan dugaan suap dan atau gratifikasi dalam penanganan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Hingga kini, Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus ini.
Ketujuh orang tersangka yakni Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG), MS dan AR. Kemudian hakim Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharuddin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM).
Diduga suap Rp 60 miliar ini agar hakim memberikan vonis ontslag atau putusan lepas dalam perkara pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya periode Januari-April 2022 terhadap tiga grup korporasi yang terlibat yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Awal mula kasus ini terungkap berdasarkan bukti yang ditemukan dalam kasus suap Ronald Tannur terhadap hakim PN Surabaya.