UU Polri Digugat ke MK, Pemohon Pernah Diancam Polisi Salah Gunakan Wewenang

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ilustrasi.
Penulis: Ade Rosman
Editor: Agustiyanti
16/10/2025, 08.28 WIB

Seorang advokat bernama Leon Maulana Mirza Pasha dan seorang karyawan swasta bernama Panji mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi. 

Mereka mengajukan permohonan perkara nomor nomor 183/PUU-XXIII/2025 ini usai mendapatkan ancaman dari seorang aparat kepolisian yang diduga menyalahgunakan kewenangannya. 

“Tindakan yang dialami Pemohon ini tidak hanya mencerminkan penyalahgunaan wewenang, tapi juga membuktikan adanya niat untuk memanfaatkan atribut Polri demi kepentingannya sendiri yang sama sekali tidak berlandaskan hukum,” kata Leon dalam sidang Rabu (15/10). 

Ancaman tersebut berawal ketika Leon dihubungi oleh M. Rifky Widyanto Pratama yang mengaku seorang anggota aktif kepolisian bertugas di bidang teknologi informasi dan komunikasi Polda Metro Jaya. Anggota Polri itu menanyakan perihal nama panggung “Icha Lovely” yang dulunya digunakan oleh istrinya.

Pemohon I dalam hal ini Leon sebagai advokat bertugas membela kliennya, yaitu perusahaan dengan singkatan PT RCM. Leon menegaskan nama panggung tersebut merupakan milik perusahaan, tetapi Rifky tidak mau menerima fakta tersebut. 

Aparat bernama Rifky itu justru kemudian membahas hal-hal lain seperti legalitas perusahaan dan lainnya, serta menuduh klien Pemohon I tidak memiliki legalitas yang terdaftar. Aparat bernama Rifky lantas meminta dokumen legalitas perusahaan yang menjadi dokumen privat atau rahasia sehingga tidak bisa diberikan begitu saja. 

Leon mengaku mendapatkan ancaman karena tidak mau memberikan dokumen rahasia yang dimaksud, yakni dengan  pihak berwajib untuk mengecek legalitas dari klien Leon. 

“Saya sudah coba untuk profiling bahwa yang bersangkutan benar merupakan anggota aktif kepolisian dan juga bahkan di pesan WhatsApp tersebut menyatakan dengan tegas bahwa dia adalah anggota kepolisian aktif di bidang tersebut dan kesatuan tersebut,” kata Leon.

Pasal 25 ayat (1) UU Polri menyebutkan “Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam penugasannya.”

Namun dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “keabsahan wewenang” pada Pasal 25 ayat (1) UU 2/2002 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai keabsahan wewenang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya sah apabila digunakan sesuai hukum, profesionalisme, dan kepentingan umum, serta tidak untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. 

Saldi mengatakan, kasus konkret yang dialami para pemohon hanya bisa menjadi uraian untuk menyatakan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan ini. 

Namun, menurut Saldi, jika pasal yang diuji tidak memiliki causa verband atau hubungan sebab akibat dengan kerugian hak konstitusional para Pemohon, maka Mahkamah pun tidak akan memberikan kedudukan hukum.

“Karena itu causa verband-nya itu harus dijelaskan, karena apa, kalau Saudara minta seperti pemaknaan tadi, bahkan beberapa pasal tadi sudah dijelaskan dengan baik oleh Yang Mulia Bapak Arsul Sani itu sudah lebih dari yang Saudara minta itu, itu soal tanggung jawab itu,” kata Saldi.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. Berkas permohonan tersebut harus diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 28 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ade Rosman