Mantan Wakil Ketua KPK Soroti Pasal Kerugian Negara di Kasus Korupsi ASDP
Mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi menilai penggunaan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuat pemberantasan korupsi di Indonesia mandeg.
Hal ini disampaikannya saat bersaksi dalam sidang dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (17/10).
Dalam pasal tersebut disebutkan dua jenis korupsi yaitu Pasal 2 mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara, dan Pasal 3 mengenai penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.
“Tidak ada harapan perbaikan pemberantasan korupsi kalau pasal ini ada. Sejak KPK didirikan pada 2004 sampai sekarang, kita lihat korupsi di Indonesia tidak berkurang,” kata Amien dalam keterangan resmi, Sabtu (18/10).
Pernyataan itu disampaikan menanggapi pertanyaan dari tim pembela mantan direksi ASDP, Ira Puspadewi, M. Yusuf Hadi, dan Harry M.A.C., terkait perbedaan penghitungan kerugian negara dalam kasus ini.
Jaksa KPK menghitung kerugian negara mencapai Rp 1,253 triliun, meski akuisisi ASDP sudah diawasi BPKP, BPK, Jamdatun, dan Menteri BUMN yang menyatakan tidak ada kerugian negara.
Amien menegaskan bahwa klausul “merugikan keuangan negara” hanya ada di Indonesia. Di lembaga pemberantasan korupsi negara lain, seperti Australia, Malaysia, dan Hong Kong, aturan serupa tidak ada.
“Itu sebabnya, jika Indonesia bekerja sama dengan negara lain, kita tidak bisa menangkap tersangka korupsi Indonesia yang kabur ke luar negeri karena menggunakan pasal ini,” ujarnya.
Amien menjelaskan bahwa Indonesia tidak bisa menangkap tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri, dan harta mereka di luar negeri pun tidak bisa disita melalui perjanjian internasional (mutual legal assistance), karena klausul “merugikan keuangan negara” tidak ada dalam hukum pidana negara lain. Ia menambahkan, di luar negeri yang ada hanyalah klausul suap atau bribery.
Menurut Amien, salah jika korupsi hanya dilihat dari klausul merugikan negara. Ia menegaskan bahwa pasal tersebut harus dihapus karena tidak efektif memberantas korupsi, atau jika tetap digunakan, harus jelas adanya mens rea (niat jahat).
Banyak pengamat hukum menilai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sering disalahgunakan sehingga menjadi “pasal karet” untuk menjerat seseorang.
Penerapan pasal ini memunculkan pro-kontra, khususnya terkait risiko kriminalisasi kebijakan yang menekankan kerugian negara ketimbang niat jahat (mens rea). Kekhawatiran ini kerap membuat pejabat publik dan BUMN enggan mengambil keputusan strategis demi kepentingan masyarakat.
Amien bersama 11 tokoh lainnya meminta pasal tersebut dicabut dan fokus lembaga anti korupsi dialihkan pada suap dan gratifikasi, seperti yang dijalankan di negara lain.
Contoh Kasus di Pertamina
Ia mencontohkan dampaknya terhadap BUMN, khususnya Pertamina. Indonesia memiliki 128 cekungan minyak dan gas bumi, namun untuk mendapatkannya harus mengebor. Dari 10 sumur yang dibor, biasanya hanya tiga berhasil. Meski begitu, hasil tiga sumur yang berhasil dapat menutup biaya tujuh sumur lainnya.
“Tapi para pejabat BUMN ogah mengebor. Mereka takut dikriminalisasi karena aparat hukum hanya fokus pada tujuh sumur yang dianggap merugikan negara. Pertamina terakhir ngebor itu tahun 1967,” kata Amien.
Akibatnya, Pertamina lebih memilih impor minyak. “Duit kita mengalir ke Menteri Keuangan Angola, karena kita impor dari sana,” tambah mantan Ketua SKK Migas itu.
Hakim menanyakan kepada Amien soal perbedaan penghitungan nilai aset antara penuntut dan pembela dalam kasus ASDP. Ia menanyakan apakah kasus tersebut sebaiknya kembali diselidiki atau diteruskan ke gugatan perdata maupun pidana.
Amien menjelaskan, saat memimpin KPK pada 2004, semua kasus yang akan dibawa ke pengadilan selalu diputuskan bersama lima pimpinan KPK, sehingga berkas perkara benar-benar siap. Menurutnya, kasus ASDP sebaiknya kembali dilakukan penyelidikan.
Ia menambahkan, jika ingin menguji nilai kapal, sebaiknya menggunakan penilai publik resmi, yakni P2PK (Pusat Pembinaan Profesi Keuangan, sekarang Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan), bukan dosen atau akademisi. “Kalau ke dosen, kita tanya ujian saja,” ujarnya.
Hakim Sunoto pun menyela, menyinggung chat WhatsApp yang diduga digunakan untuk pengkondisian harga. Amien menjawab dengan tenang bahwa dirinya sebelumnya melakukan audit forensik.
Amin menjelaskan, yang perlu diperhatikan adalah apakah chat tersebut memuat kata-kata yang mengarah pada suap dan kickback, sedangkan percakapan biasa antara pembeli dan penjual dianggap wajar.
Dia mencontohkan, selama di KPK, ia menyusun 3.000 daftar kata yang berasosiasi dengan suap dan kickback, seperti “durian”, “apel Washington”, dan “kardus”. Dari 11 juta email yang dianalisis, daftar kata ini membantu menemukan indikasi suap.
Tanggapan Guru Besar UGM
Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Prof. Nindyo Pramono, menekankan pentingnya prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan Business Judgment Rule (BJR) dalam setiap keputusan bisnis di BUMN.
“Tidak ada keputusan bisnis yang bisa menjamin pasti untung. Yang penting, direksi telah menjalankan kewenangan sesuai undang-undang, anggaran dasar, dan prinsip kehati-hatian. Jika semua itu dipenuhi, direksi berhak mendapatkan perlindungan BJR meskipun hasilnya merugi,” kata Nindyo dalam sidang, Kamis (16/10).
Ia menambahkan, keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan perseroan dan dilakukan secara profesional harus dilihat sebagai risiko bisnis, bukan pelanggaran hukum. Penerapan prinsip Transparency, Accountability, Responsibility, Independence, dan Fairness (TARIF) merupakan fondasi GCG di BUMN.
“Kalau keputusan diambil dengan transparan, dapat dipertanggungjawabkan, tanpa konflik kepentingan, dan dengan tujuan adil bagi semua pihak, maka keputusan itu sudah memenuhi prinsip GCG dan otomatis dilindungi BJR,” tambahnya.
Nindyo menegaskan, kerugian dalam aktivitas bisnis tidak otomatis berarti pelanggaran hukum. “BUMN sekalipun adalah PT biasa menurut hukum bisnis. Maka, keuntungan dan kerugian yang terjadi merupakan tanggung jawab korporasi, bukan kerugian negara.