KPK Resmi Tetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid Tersangka Kasus Dugaan Pemerasan

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) digiring petugas saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
5/11/2025, 15.42 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka pemerasan. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama dua pejabat lainnya.

Mereka ditetapkan sebagai tersangka usai terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 3 November 2025. Tanak menjelaskan, OTT tersebut bermula dari laporan pengaduan masyarakat yang diterima KPK. 

“KPK menetapkan 3 (tiga) orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid) selaku Gubernur Riau, MAS (M Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, serta DAN (Dani M Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/11). 

Johanis lalu menjelaskan awal mula penelusuran kasus ini.  Tim KPK mendapatkan informasi bahwa pada Mei 2025 terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP.

Pertemuan tersebut membahas kesanggupan pemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid selaku Gubernur Riau, yakni sebesar 2,5%.  Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.

Ferry lalu menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau M. Arief Setiawan. Namun, Arief yang merupakan perpanjangan tangan Abdul Wahid meminta fee sebesar 5% atau Rp 7 miliar. 

“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Johanis.

Kemudian, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5% atau Rp 7 miliar. 

Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode “7 batang”.  “Dari kesepakatan tersebut, setidaknya terjadi tiga kali setoran fee jatah AW,” katanya. 

Rinciannya yakni, pada Juni 2025, setoran pertama Ferry Yunanda sebagai pengepul uang dari Kepala UPT, mengumpulkan total Rp 1,6 miliar atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid.

Ferry lalu mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. Ferry juga juga memberikan uang sejumlah Rp 600 juta kepada kerabat Arief.

Lalu, pada  Agustus 2025, atas perintah Dani sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT, dengan uang terkumpul sejumlah Rp1,2 miliar.

Atas perintah Arief, uang tersebut, di antaranya didistribusikan untuk sopirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.

Kemudian, pada November 2025, pengumpulan dana dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar. Uang tersebut dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada AW.

“Sehingga, total penyerahan pada Juni - November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” kata Johanis.

Bersamaan dengan OTT, KPK juga menggeledah dan menyegel rumah Abdul Wahid di wilayah Jakarta Selatan. KPK kemudian mengamankan sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yakni 9.000 pound sterling dan 3.000 USD atau  senilai Rp 800 juta.

“Sehingga total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp 1,6 miliar,” kata Tanak. 

Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025 - 23 November 2025,” kata Tanak. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ade Rosman