Gelar Pahlawan Soeharto di Tengah Kecaman dan Catatan Kontroversial
Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Presiden RI ke-2 itu ditetapkan menjadi pahlawan nasional di bidang perjuangan bersenjata dan politik karena rekam jejaknya sejak awal kemerdekaan.
Soeharto tercatat sebagai salah satu figur penting yang bergerak langsung di lapangan pada fase awal republik. Saat menjadi wakil komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Yogyakarta saat itu, Soeharto memimpin operasi pelucutan senjata tentara Jepang di Kota Baru pada 1945.
Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang menganugerahkan gelar pahlawan kepada ayahnya. Tutut saat itu didampingi oleh adiknya Bambang Trihatmojo sebagai kerabat dan keluarga Soeharto.
“Kami sekeluarga merasa bersyukur. Terima kasih kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto dan rakyat Indonesia," kata Tutut selepas acara penganugerahan, Senin (10/11).
Soeharto sudah beberapa kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Namun usulan tersebut tidak lolos di Sidang Dewan Gelar.
Rencana dan sikap Prabowo yang meloloskan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebelumnya telah mendapat protes dari sejumlah kalangan.
Anugerah Gelar Pahlawan Di Tengah Kecaman
Ratusan tokoh yang terdiri dari aktivis, akademisi, hingga lembaga masyarakat telah menyurati Prabowo untuk menolak wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Mereka menilai, pemerintahan Soeharto dipenuhi berbagai pelanggaran hak asasi manusia, juga berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintahan Soeharto juga diwarnai dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, juga kebebasan akademik.
“Presiden harus menolak usulan gelar pahlawan yang diajukan oleh Dewan Gelar di dalam kementerian atau di dalam pemerintahan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (4/11).
Utati Koesalah, seorang perempuan tahanan politik 1965 juga menolak pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Ia menceritakan pengalamannya ditahan selama 11 tahun di Rumah Tahanan Bukit Duri.
Utati menceritakan pengalamannya yang menyisakan trauma mendalam. Selama 11 tahun berada di dalam rutan, ia mencoba segala cara agar dapat keluar dengan keadaan akal yang masih waras.
“Sebagai korban langsung Peristiwa 65, G30S, saya ditahan selama 11 tahun di penjara wanita Bukit Duri, dan dengan segala cara kami yang ada di situ jelas tidak mau mati konyol. Berusaha untuk bertahan bisa hidup keluar dengan akal yang masih waras,” ujar Utati kepada kesempatan serupa.
Soeharto merupakan Presiden Indonesia terlama dengan masa kepemimpinan selama 32 tahun. Ia menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS, dengan dikeluarkannya Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968 pada 27 Maret 1968.
Perjalanan Soeharto menjadi presiden tak terlepas dari situasi politik dan ekonomi Indonesia setelah Gerakan 30 September (G30S). Era Orde Baru dikenal sebagai rezim pembatasan kebebasan sipil, sensor media, kontrol partai politik, dan pembungkaman lawan politik. Termasuk praktik penembakan misterius (Petrus). Saat itu, militer menjadi pilar kekuasaan pemerintah.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat berbagai rentetan pelanggaran HAM berat di masa pemerintahan Soeharto,sebagai berikut:
1. Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989.
Berdasarkan Laporan Keadaan HAM di Indonesia 1989 menyebut peristiwa tersebut menewaskan 31 (tigapuluh satu) orang dan beberapa orang lainnya dipenjara karena dituduh subversif;
2. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 yang menyeret aktivis pro-demokrasi hingga 13 (tiga belas) orang masih dinyatakan hilang;
3. Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1989-1998 yang mana di pertengahan 2023 pemerintah malah menghancurkan saksi bisu Rumoh Geudong yang dianggap sebagai tempat penyiksaan oleh militer selama konflik bersenjata di Aceh;
4. Kerusuhan Mei 1998, berdasarkan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan. Tragisnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyangkal terjadinya perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 dan pelanggaran lainnya.
Menjelang 1990-an, kritik terhadap Soeharto menguat soal praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, terutama jaringan bisnis keluarga dan kroni. Pasca-lengser, Soeharto sempat diadili dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan dana-dana yayasan. Namun proses hukumnya tidak berlanjut.
Lembaga Transparency International (TI) pernah menjadikan mantan Presiden Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia. Diperkirakan selama 32 tahun berkuasa, Soeharto telah menggelapkan uang rakyat Indonesia yang jumlahnya mencapai US$35 miliar.