Hakim Anggap Direksi ASDP Lakukan Kesalahan Tata Kelola Bisnis, Bukan Korupsi

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.
Terdakwa kasus dugaan korupsi di PT ASDP Ira Puspadewi (kedua kiri) dan Muhammad Yusuf Hadi (kanan) menyampikan keterangan kepada media usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan pvonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
20/11/2025, 17.07 WIB

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Sunoto, menilai tiga terdakwa mantan petinggi PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) tidak melakukan praktik korupsi terkait perkara akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019-2022.

Ia menilai perkara yang menjerat Mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi, eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono cenderung mengarah kepada praktik keputusan bisnis yang tidak optimal.

Sunoto menjelaskan bahwa keterangan para saksi dan terdakwa di persidangan tidak menunjukkan adanya aliran uang atau pemberian fasilitas dari pemilik PT JN kepada para terdakwa.

“Saudara Adjie (pemilik PT JN) bahkan menyebut bahwa tawarannya untuk memberikan handphone dan batik Madura kepada terdakwa Harry ditolak, bergitu pula terdakwa Ira menolak pemberian fasilitas penjemputan dan kamar hotel,” kata Sunoto.

Hakim Sunoto menilai keputusan akuisisi yang dilakukan PT ASDP tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara. Ia juga menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam.

Sunoto mengatakan meskipun ada sembilan dari kapal yang dibeli berusia tua, ASDP tetap memperoleh 53 kapal sekaligus melalui skema paket dengan harga yang dinilai lebih ekonomis. Selain itu, akuisisi tersebut memberikan akses kepada ASDP terhadap 53 izin operasi pelayaran komersial.

Ia menambahkan, fakta-fakta persidangan menunjukkan para terdakwa telah menunjukkan itikad baik dalam proses akuisisi. Sunoto menilai para terdakwa bahkan telah menunjuk tujuh konsultan profesional independen untuk melakukan uji tuntas komprehensif dengan nilai sekitar Rp 11,2 miliar.

"Kehati-hatian juga terbukti dari keterlibatan 7 konsultan profesional dan pertimbangan nilai strategis secara holistik. Meskipun ada beberapa kapal yang bermasalah, para terdakwa mempertimbangkan nilai strategis yang sangat nyata dampaknya," kata Sunoto saat memimpin jalannya sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (20/11), siang.

Sonoto malanjutkan, para terdakwa juga melakukan negosiasi serius dan berhasil menurunkan harga dari penawaran awal dari Adjie selaku pemilik PT JN sebesar Rp1,6 triliun menjadi Rp1,27 triliun. Penurunan harga hingga Rp 328 miliar itu dinilai menunjukkan upaya para terdakwa untuk melindungi kepentingan PT ASDP.

Sunoto menekankan bahwa majelis perlu mempertimbangkan prinsip business judgement rule (BJR) dalam menilai apakah tindakan para terdakwa merupakan tindak pidana korupsi atau keputusan bisnis.

Ketentuan yang tertulis dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas itu menjelaskan bahwa BJR adalah doktrin hukum yang melindungi direksi dari pertanggungjawaban pribadi atas keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik, kehati-hatian yang memadai, dan dalam batas kewenangan yang sah, meskipun keputusan tersebut pada akhirnya tidak menghasilkan hasil yang optimal.

"Jika setiap setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana maka direksi akan takut mengambil resiko yang diperlukan untuk pertumbuhan perusahaan," ujarnya.

Lebih lanjut, Sunoto menjelaskan seluruh pertemuan terkait akuisisi PN JN oleh ASDP dilakukan secara formal, terdokumentasi, dan melibatkan banyak pihak, termasuk komisaris dan Menteri BUMN saat itu.

Ia menyampaikan Mahkamah Konstitusi pada 2012 Putusan Nomor 1544/K.Pid Sus/2012 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi harus dibuktikan dengan adanya niat atau maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, bukan sekadar munculnya kerugian negara.

"Motif ekonomi dalam perkara ini merupakan indikator kuat bahwa ini bukan tindak pidana korupsi, melainkan keputusan bisnis yang mungkin tidak optimal," kata Sunoto.

Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat sebelumnya menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan kepada Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan 8 tahun 6 bulan penjara.

Majelis hakim juga menetapkan vonis pidana penjara 4 tahun masing-masing kepada eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASIDP Yusuf Hadi dan Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketetapan ini juga lebih rendah dari tuntuan jaksa yang mendakwa masing-masing 8 tahun penjara.

Ketiganya didakwa merugikan negara Rp 1,25 triliun dalam kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara pada 2019-2022. Jaksa KPK mengatakan, kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam. Jaksa menjelaskan perkara ini berawal dari skema kerja sama usaha (KSU) antara ASDP dan PT JN pada 2019.

Para terdakwa juga dituding tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli. Mereka diduga mengondisikan penilaian 53 unit kapal PT JN oleh KJPP Mutaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan rekan (KJPP MBPRU).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu