Edisi Khusus | Masyarakat Adat

Krisis Iklim Dorong Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Katadata
Sesi People's Summit: Main Outcomes and Action Agenda towards a Climate Justice Future di Paviloun Ford Foundation COP30 di Brazil Senin (17/11). Dok/Izhar Alkhalifard/Just COP.
25/11/2025, 14.52 WIB

Krisis iklim telah menciptakan dampak negatif bagi seluruh lapisan warga, tak terkecuali masyarakat adat. Di berbagai wilayah, masyarakat adat menjadi garda terdepan dalam menjaga fungsi hutan serta lanskap ekologis di sekitarnya. Namun, mereka masih berjuang dalam mendapatkan hak pengakuan atas tanah mereka. 

Isu ini mengemuka dalam sesi People's Summit: Main Outcomes and Action Agenda towards a Climate Justice Future di Paviloun Ford Foundation pada Conference of Parties (COP) 30 di Belem, Brasil, Senin (17/11). 

Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per Agustus 2025 mencatat bahwa 33,6 juta hektare wilayah adat dari 1.963 komunitas telah dipetakan secara partisipatif. Wilayah-wilayah ini tersebar di 180 kabupaten/kota dan 32 provinsi. 

Meski pemetaan telah berjalan luas, pengakuan resmi negara masih terbatas. Dari seluruh wilayah adat tersebut, baru 354.257 hektare hutan adat yang secara resmi dikembalikan pemerintah kepada masyarakat adat. 

Analisis tutupan lahan juga memperlihatkan kondisi ekologi wilayah adat tersebut: sekitar 24 juta hektare masih berupa hutan utuh (intact forest), 8 juta hektare merupakan area rehabilitasi, dan 1 juta hektare sudah terdegradasi.

Menurut Kepala Divisi Advokasi, Riset, dan Kerja Sama BRWA, Aria Sakti Handoko, masyarakat adat telah memberikan kontribusi nyata dalam menjaga hutan, biodiversitas, dan ekosistem untuk mitigasi perubahan iklim. “Tetapi mereka juga yang paling menderita akibat perubahan iklim,” katanya. 

Dia menjelaskan bahwa perubahan iklim telah berdampak langsung pada kehidupan komunitas adat, mulai dari gagal panen, hilangnya satwa buruan, hingga meningkatnya serangan penyakit tanaman. 

Karena itu, Aria menambahkan, penguatan adaptasi komunitas adat harus menjadi bagian utama dari agenda global, khususnya dalam mekanisme Global Goal on Adaptation dan Loss and Damage.

Sebagai informasi, BRWA meluncurkan Platform Digital Registrasi Wilayah Adat pada Maret 2020 sebagai hub nasional untuk validasi data spasial dan sosio-kultural masyarakat adat. Platform berbasis GIS ini memungkinkan standardisasi dan verifikasi data untuk mendukung proses pengakuan.

"Platform kami dikembangkan untuk menunjukkan perkembangan setiap jenis pengakuan secara transparan. Kami berharap suatu hari nanti, jika perlindungan legal terhadap masyarakat adat di Indonesia harus lebih kuat, sistem ini bisa diadopsi pemerintah secara resmi," ujar Sakti.

Pentingnya Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdi Akbar, menyatakan sistem pengakuan terhadap hukum adat sebenarnya sudah cukup berkembang sejak dimulai pada 2016. Dia menyampaikan informasi bahwa saat ini ada 461 produk hukum di tingkat daerah tentang pengakuan masyarakat adat. 

"Yang kita tunggu adalah tindakan konkret, bukan hanya komitmen," ujar Abdi. 

Menurutnya, birokrasi yang rumit masih menjadi hambatan utama pada pengakuan hak masyarakat adat di Indonesia. Hal itu dikarenakan ada lima jalur hukum yang berbeda yang harus dilalui komunitas adat untuk memperoleh pengakuan. 

Salah satunya ada melalui jalur pengakuan dari pemerintah daerah. Selain itu, jalur Kementerian Kehutanan untuk hutan adat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk tanah ulayat, Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Belum lagi integrasi ke dalam kebijakan One Map Policy melalui Badan Informasi Geospasial (BIG).

“Situasi masyarakat adat saat ini seperti berada dalam labirin dengan banyak kamar,” ujar Abdi Akbar.

Karena itu, solusi konstitusional yang paling efektif untuk mengatasi tumpang tindih ini adalah dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat. "Undang-undang itulah yang nantinya akan meretas semua hambatan birokratis," katanya.

Target 1,4 Juta Hektare Pemerintah

Kepala Subdirektorat Penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak, Direktorat PKTHA, Kementerian Kehutanan, Yuli Prasetyo Nugroho, menyebutkan penetapan status hutan adat memiliki sejumlah tujuan seperti menjaga keamanan masyarakat, mengkonservasi ekosistem, hutan, dan lingkungan, serta perlindungan para penduduk lokal. 

Selain itu, penetapan hutan adat juga menjadi instrumen resolusi konflik menyusul banyaknya konflik di kawasan hutan antara komunitas dengan pihak lain, termasuk institusi kehutanan di pemerintah daerah.

Sejak program pengakuan adat mulai berjalan pada 2016, pencapaiannya masih terbatas. Situasi mulai berubah pada 2022 ketika pemerintah mengembangkan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengakselerasi penetapan hutan adat.

"Kami juga memiliki regulasi tentang hutan adat. Yang pertama adalah keputusan menteri, kemudian kami memiliki keputusan pemerintah. Kami juga memiliki [regulasi tentang] akselerasi proses penetapan [hutan adat]," kata Yuli.

Kementerian Kehutanan telah melakukan verifikasi untuk pengembalian hak adat kepada masyarakat. Untuk mengakselerasi program ini, pemerintah akan bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil. 

Menurut Yuli, tak sedikit wilayah adat yang berada dalam tekanan akibat konsesi bisnis dan penggunaan hutan lainnya.

“Kami menargetkan 1,4 juta hektare hutan adat di 15 kawasan dan 30 kota sampai tahun 2030. Proses untuk 1,4 juta hektare ini sudah siap untuk verifikasi," kata Yuli..

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.