Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Johnny Darmawan mengatakan Indonesia berpeluang menjadi produsen utama kendaraan listrik di kawasan ASEAN. Sebab, Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) bahan baku baterai lithium yang melimpah.
Limpahan bahan baku baterai lithium tersebut bisa menjadi modal awal bagi Indonesia untuk menjadi pemain utama mobil listrik. Karena, biaya produksi kendaraan listrik tertinggi adalah pada komponen baterai.
"Sebanyak 60% biaya produksi komponen kendaraan Iistrik ada pada baterai. Kalau diimpor dari luar, biaya produksinya akan sangat mahal," kata Johnny di Jakarta, Rabu (27/11).
(Baca: Jepang dan Tiongkok Jajaki Investasi Kendaraan Listrik di Indonesia)
Untuk memenuhi kebutuhan baterai lithium dalam negeri, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan telah merilis kebijakan pelarangan ekspor biji (ore) nikel.
Luhut mengatakan selama ini sebanyak 98% nikel diekspor ke Tiongkok. Padahal, biji nikel dapat dimanfaatkan sebagai material untuk membuat baterai lithium. "Jadi kita punya nikel. Dari mulai stainless steel, karton steel, kartoda, sampai lithium baterai," kata Luhut, beberapa waktu lalu.
(Baca: LG Chemical Bakal Memulai Studi Investasi Pabrik Baterai di Indonesia)
Meski begitu, melimpahnya potensi bahan baku saja belum cukup. Kadin mengharapkan kementerian teknis segera menerbitkan regulasi pendukung sebagai turunan dari Perpres 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan.
Kebijakan tersebut harus berdasarkan aspek kajian pada semua proses industri, input, output dan proses pabrikasi, sehingga terbangun struktur industri kendaraan listrik yang ideal dan berkelanjutan.
Kadin juga berharap pemerintah bisa meiakukan percepatan peta jalan BEV tanpa harus menunggu kesiapan industri komponen utama. Pasalnya, negara-negara lain juga telah memulai langkah serupa untuk menyambut era mobil Iistrik, termasuk Thailand.
Saingi Thailand
Sementara itu, Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani dalam keterangannya mengatakan, saat ini produksi otomotif Indonesia kalah dari Thailand. Pesatnya kemajuan industri otomotif Negeri Gajah Putih itu disebabkan oleh besarnya dukungan yang diberikan pemerintah.
"Menyambut era mobil listrik, pemerintah Thailand bahkan telah mengobral sejumlah insentif baru," kata Rosan.
Beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah negara itu di antaranya, insentif pengurangan bea masuk impor barang modal dan komponen. Kemudian, pemerintah Thailand juga mendukung kegiatan riset dan pengembangan industrinya melalui insentif pajak penghasilan minimal tiga tahun dan insentif perpajakan berdasarkan lokasi pabrik.
(Baca: Jepang dan Tiongkok Jajaki Investasi Kendaraan Listrik di Indonesia)
Semakin jauh lokasi pabrik dari Bangkok, insentif yang diberikan juga semakin besar. Hal itu berdampak signifikan terhadap produksi otomotif.
Adapun bagi perusahaan yang memproduksi kendaraan listrik akan mendapatkan insentif berupa pembebasan pajak 6-10 tahun, jika mereka menghasilkan komponen utama, seperti baterai dan kereta listrik di dalam negeri. Mesin yang diperlukan untuk memproduksi semua jenis kendaraan listrik dibebaskan dari tarif impor.
"Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan serupa sebagai implementasi Perpres No 55 Tahun 2019 agar bisa berkompetisi dengan Thailand dalam produksi kendaraan listrik," katanya.
Menurut data ASEAN Automotive Federation, pada 2018 produksi kendaraan Thailand telah mencapai 2,1 juta unit. Sedangkan Indonesia baru mencapai 1,3 juta unit.
Produksi kendaraan Thailand pun lebih berdaya saing di pasar global dengan jumlah ekspor yang mencapai 53% dari jumlah produksi 2018. Sementara itu, produksi kendaraan Indonesia lebih banyak dipasarkan di dalam negeri dengan porsi 74%, sedangkan ekspornya baru mencapai 26%.