Pasokan beras di gudang Perum Bulog merupakan salah satu acuan membentuk harga beras nasional. Karena itu, Bulog dituntut agar bisa memaksimalkan penyerapan beras di dalam negeri untuk menjaga jumlah stok dan harga jual di pasar.
Sebab, semakin banyak stok, pemerintah semakin mudah pula mengantisipasi lonjakan harga beras melalui operasi pasar. Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) menyatakan stok beras Bulog di gudang bisa dinyatakan aman jika mencapai 1,5 juta ton. Namun, jika pasokan berada di bawah batas tersebut, akibatnya kenaikan harga beras bisa jadi tidak terelakkan.
Fenomena minimnya serapan beras Bulog sempat terjadi pada awal 2018. Hal itu disebabkan oleh kemampuan Bulog menyerap beras petani hanya 56,7% atau sebanyak 2,2 juta ton dari target 3,7 juta ton pada tahun 2017, sehingga menjadikan stok beras Bulog pada akhir tahun sangat tipis atau mencapai level 700 ribu ton. Tak hanya itu, operasi pasar yang berhasil direalisasikan perseroan pada 2017 juga hanya sebesar 58.102 ton.
(Baca: Bulog Siapkan Anggaran Rp 10 Triliun untuk Serap 1,8 Juta Ton Beras)
Dampaknya cukup mengkhawatirkan, harga beras melonjak tajam. Kala itu, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sebesar RP 9.450 per kilogram tidak mampu membendung kenaikan harga yang bisa menyentuh Rp 12.000 per kilogram. Untuk menjadikan harga jual kembali stabil, pemerintah langsung memutuskan opsi impor 500 ribu ton untuk menutup kekosongan di gudang Bulog.
Tak mau mengulang kesalahan yang sama, dalam waktu berdekatan, pemerintah memutuskan impor mencapai 2 juta ton. Langkah tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menekan harga yang terlanjur tinggi melalui operasi pasar.
Bulog pun kemudian menggelar operasi pasar besar-besaran pada tahun lalu yang kemudian diketahui operasi pasar 2018 merupakan rekor penggelontoran beras terbesar sepanjang 10 tahun terakhir, yaitu mencapai 544 ribu ton. Sementara itu, penyerapan beras dalam negeri pun masih bermasalah yakni hanya mencapai 1,5 juta ton dari target 2,7 juta ton.
Keputusan impor sebesar 2 juta ton dengan realisasi 1,8 juta ton membawa hasil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi beras tahun 2018 berada pada level 0,13%, tidak sebesar tahun 2017 yang mencapai 0,16%.
Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar menjelaskan, permasalahan utama dalam rendahnya penyerapan beras dalam negeri karena Harga Pembelian Pemerintah yang mengacu Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. "Harga itu sudah tidak lagi relevan, harga gabah dan beras jauh lebih tinggi," kata Bachtiar di Rapat Kerja Nasional Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (14/1).
(Baca: Jokowi Minta Bulog Kosongkan Gudang untuk Serap Beras Petani)
Berdasarkan Inpres, HPP gabah dipatok sebesar Rp 3.700 per kilogram dan HPP beras mencapai Rp 7.300 per kilogram. Sementara bila mengutip data BPS, harga gabah sepanjang 2018 sudah berada di level Rp 4.500 hingga Rp 5.300 per kilogram.
Pemerintah sebenarnya telah memberikan fleksibilitas sebesar 10%. Artinya, Bulog bisa melakukan pembelian dengan harga lebih tinggi di atas HPP, dengan harga gabah sebesar Rp 4.070 per kilogram dan beras mencapai Rp 8.030 per kilogram.
Namun, mengacu capaian serapan beras Bulog pada tahun 2017 dan 2018, fleksibilitas saja belum cukup. Skema baru pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) menjadi salah satu solusi pemerintah. "Dengan cara itu, Bulog bisa beli sesuai harga pasar," ujar Bachtiar.
Mekanisme skema itu tertuang dalam dua aturan. Pertama, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 5 Tahun 2018 tentang pengelolaan CBP untuk stabilisasi harga. Kedua, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang pengelolaan CBP.
Berdasarkan skema baru itu, pemerintah optimistis Bulog mampu mencapai target penyerapan sebesar 1,8 juta ton pada tahun 2019. Tak tanggung-tanggung, Kementerian Pertanian meminta supaya realisasi penyerapan bisa mencapai 83% atau sekitar 1,5 juta ton khusus per Januari hingga Maret 2019.
Terkait target tersebut, Bachtiar pun mengaku siap menjalankan penugasan. Menurutnya, Bulog telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 10 triliun untuk menyerap beras sampai 1,8 juta ton pada tahun ini.
Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengungkapkan produksi gabah kering giling periode Januari mencapai 4,31 juta ton, Februari 7,87 juta ton, dan Maret 12,74 juta ton. Alhasil, potensi penyerapan Bulog pada Januari bisa mencapai 50 ribu ton pada Januari, 450 ribu ton pada Februari, serta 1 juta ton pada Maret.
Berbeda dengan perhitungan serta optimisme pemerintah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menuturkan pembelian beras menggunakan mekanisme baru akan berdampak pada lonjakan harga gabah. "Bulog jadi ikut dalam mekanisme pasar yang menyebabkan permintaan baru, otomatis harga ikut naik," kata Dwi, lewat sambungan telepon.
(Baca: Bulog Operasi Pasar 500 Ribu Ton pada 2018, Terbesar dalam 5 Tahun)
Dia juga menuturkan bahwa ada potensi mundurnya masa panen akibat bergesernya masa tanam. Sehingga, panen raya baru terjadi pada bulan Maret dan April. Atas dasar itu, Dwi menegaskan target kuartal pertama Bulog kemungkinan tidak dapat tercapai.
Bahkan, dia memprediksi Bulog akan kesulitan bersaing dengan pelaku usaha perberasan dalam melakukan penyerapan. Alasannya, Bulog bersaing dalam pembelian beras, bukan gabah. Sementara itu, proses perubahan gabah menjadi beras akan memakan waktu sekitar 2 minggu.
Menurut Dwi, pelaku usaha bakal berebut gabah di pasar untuk mengisi kekosongan stok di gudang masing-masing. Karenanya, dia pun memperkirakan harga beras bisa mencapai level tertinggi pada Maret 2019.
Dwi memperkirakan, penyerapan Bulog hanya akan mencapai 1,2 juta ton pada bulan Juli. "Dengan demikian, target kuartal pertama penyerapan sampai 1,5 juta ton menjadi sangat tidak masuk akal," ujarnya.