Pelaku Usaha Perberasan Sebut Data Produksi Kementan Overestimasi

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
Petani melintas dilahan pertanian kawasan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (16/3). Menurut Kementerian Pertanian (Kementan) melimpahnya produksi padi di Jabar pada tahun 2016 memberikan kontribusi besar menjadikan Indonesia mengekspor beras sebanyak 43,7 persen dan tidak lagi mengimpor beras, untuk meningkatkan produksi padi jabar tahun 2017 Kementan menambah target tanam periode tanam Oktober 2016 hingga Maret 2017 menjadi 1.552.041 hektar.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
24/10/2018, 08.52 WIB

Sejumlah kalangan asosiasi petani dan pelaku usaha sektor perberasan menyebut data produksi beras milik Kementerian Pertanian terlalu berlebihan. Mereka umumnya mengapresiasi langkah korektif data produksi beras oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyatakan rilis terbaru BPS harus menjadi solusi dari polemik data produksi beras nasional. "Saya harus katakan data milik Kementerian Pertanian overestimasi, seharusnya data tunggal hanya oleh BPS," kata Henry lewat sambungan telepon, Selasa (23/10).

Dia berharap data terbaru BPS lebih valid agar segala kebijakan yang diambil  pemerintah terkait komoditas pangan tersebut bisa lebih  tepat sehingga mampu menyejahterakan rakyat, terutama para petani.

Henry mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengoreksi ketidaksesuaian data yang sudah berlangsung sejak 1999. "Ini adalah pekerjaan yang luar biasa dari pemerintahan sekarang," ujarnya.

(Baca: Perbaharui Data Beras, BPS Gunakan Metode Penghitungan Komprehensif)

Setelah koreksi data produksi beras, SPI berharap pemerintah melakukan berbagai konsekuensi seperti koreksi dan penyesuaian anggaran. Alasannya, pemerintah bisa menetapkan pendanaan pertanian dengan model agroekologi.

Berdasarkan pembaruan data BPS menyebutkan bahwa ada oenurnan luas baku sawah dari 7,75 juta hektar  pada 2013 menjadi 7,1 juta hektar pada 2018. Sementara itu, potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektar dengan produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.

BPS juga menetapkan angka konsumsi sebesar 29,5 juta ton dengan angka konsumsi per kapita 111,58 kilogram dalam setahun. Alhasil, surplus beras Indonesia tahun 2018 hanya mencapai 2,8 juta ton.

Sekretaris Jenderal Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Burhanuddin juga menyebut rilis data BPS mendekati kenyataan di lapangan. Sebab, penggilingan padi dan pengusaha beras bersaing dalam pembelian gabah petani.

Alhasil, harga gabah terus meningkat karena permintaan yang semakin banyak, namun suplainya tak sebanyak klaim. Catatan Perpadi, harga gabah berada di kisaran Rp 4.800 hingga Rp 5.200 per kilogram.

Burhanuddin menekankan persaingan gabah di lapangan akan terus terjadi selama pemerintah tak ikut campur dalam mekanisme pasar. "Kecuali produksi gabah benar surplus sangat banyak, harga akan turun," katanya.

(Baca: Produksi Beras 2018 Diprediksi Lebih Rendah dari Data Kementan)

Dia juga mengungkapkan sinyal lain rendahnya produksi adalah banyaknya jumlah penggilingan padi yang harus berhenti beroperasi. Hampir sepertiga penggilingan kecil pun kalah bersaing dari total keseluruhan 182 ribu unit di Indonesia.

Pengamat pangan dan pertanian Khudori mengapresiasi kepada pemerintahan yang legowo dalam rilis data baru.

Menurutnya, kesalahan kolektif yang sudah berlangsung sekitar 20 tahun sudah saatnya diakhiri. "Data itu membuat klaim surplus beras dalam jumlah besar tak terbukti dan harus dikoreksi," ujar Khudori.

Dia juga mengapresiasi upaya Kementerian Pertanian yang telah bekerja keras dan kreatif dalam terobosan peningkatan produksi. Sehingga, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan jajarannya tak boleh berkecil hati.

Khudori berharap Kementerian Pertanian harus bisa menjadikan data produksi sebagai salah satu acuan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya tentang peningkatan produksi, tetapi juga kesejahteraan rakyat. Sebab, surplus beras masih diprediksi sekitar 2 juta ton pada tahun ini.

Dia pun memberi masukan, pengukuran data produksi dengan metode terbaru BPS juga seharusnya bisa menghitung data produksi komoditas lain."Sudah sepatutnya BPS dan jajaran serta pihak terkait memperluas metode untuk komoditas prioritas," kata Khudori.

Perbedaan data produksi beras kerap menjadi polemik di internal pemerintahan. Sebab, data produksi beras menjadi acuan dalam penetuan kebijakan pangan pemerintah, seperti impor. 

Menurut data Kementerian Pertanian, tahun ini produksi gabah diperkirakan mencapai sekitar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras dengan estimasi total konsumsi beras dalam negeri sebesar 33,47 juta ton. Atas dasar penghitungan itu, Kementan kemudian memperkirakan ada surplus beras tahun ini sebesar 13,03 juta ton. Namun, jika dibandingkan dengan pembaruan data versi BPS, angka surplus  itu tercatat lebih tinggi.

Terkait perbedaan data tersebut, pihak Kementerian Pertanian masih belum berkenan dimintai tanggapan. Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi yang coba dihubungi Katadata.co.id  tak menjawab telepon maupun pesan singkat yang dikirimkan Katadata.co.id  hingga berita ini dikirim.