Birokrasi Masih Jadi Hambatan Investasi di Sektor Pertanian

Arief Kamaludin/ Katadata
Lahan pertanian tebu milik PG Subang, RNI, di kawasan Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
17/10/2018, 15.36 WIB

Birokrasi masih dianggap sebagai hambatan utama dalam investasi sektor pertanian. Padahal, sektor ini menyerap sekitar 30 juta tenaga kerja di Indonesia, paling banyak di antara sector industri lain.

Corporate Affair Director Asian Agri Fadhil Hasan menyatakan, kegiatan produksi pertanian kebanyakan masih menggunakan modal individu. "Seharusnya investasi asing atau perusahaan besar bisa masuk supaya ada peningkatan produktivitas dan efisiensi," kata Fadhil di Jakarta, Rabu (17/10).

Dia menyebutkan, meski peringkat investasi Indonesia membaik, situasinya masih kalah menarik dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina. Berdasarkan survei Schwab tahun 2016, kerumitan proses birokrasi masih menjadi salah satu hambatan investasi pertanian di Indonesia. Lima hambatan yang lain adalah permasalahan lahan dan air, infrastruktur, pembiayaan, energi, dan otonomi daerah.

Menurut Fadhil, kebijakan pemerintah tidak menunjukkan konsistensi. Contohnya, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masih buruk. Sebab, kewenangan daerah berdasarkan otonomi sering berbeda dengan keputusan pemerintah pusat.

(Baca juga: Geliat Teknologi Digital di Bisnis Peternakan)

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kontribusi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tanaman pangan dan perkebunan hanya bernilai Rp 22 triliun atau sekitar 8,4% dari realisasi investasi pada 2017. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) tanaman pangan dan perkebunan hanya 4,3% dengan nilai US$ 1,4 juta dan peternakan cuma 0,6% senilai US$ 200 ribu.

Pengamat Hukum Bisnis dari Universitas Prasetya Mulya Rio Chriswanto mengungkapkan, permasalahan utama investasi ada pada perizinan teknis yang butuh koordinasi dengan rapat sampai 12 kali di daerah. Izin teknis ini baru muncul paling cepat satu tahun dalam bentuk Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 


Dalam sektor pertanian, menurut Rio, perusahaan harus melakukan pembiayaan sendiri minimal 4 tahun dengan rincian waktu perizinan sampai ada hasil produksi dalam bentuk komoditas. Sebab, perbankan baru akan memberikan pendanaan jika ada izin teknis dan Hak Guna Usaha (HGU).

"Perizinan teknis tidak beres karena birokrasi yang panjang, lahan yang masih menunggu keputusan pemerintah bisa jadi konflik sosial, itu akhirnya jadi tambahan ongkos lagi buat perusahaan," kata Rio.

Selain itu, rantai birokrasi dalam investasi bisa memicu kasus korupsi di daerah. Sebab, banyak pengusaha yang tertekan pada pendanaan investasi sehingga melakukan percepatan penerbitan perizinan dengan praktik suap.

(Baca juga: BPS Pakai Big Data Kumpulkan Data Pangan dan Agraria)

Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian, Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian, Erizal Jamal menyatakan pemerintah harus melakukan deregulasi untuk meningkatkan investasi pertanian. Dia juga berjanji akan terus melakukan penyelarasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Erizal menjelaskan sudah ada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 29 Tahun 2018 tentang tata cara perizinan sektor pertanian. Kementerian Pertanian juga memberikan rentang waktu dalam tahapan verifikasi administrasi, teknis, dan pengeluaran izin.

"Batas waktu jadi indikator kinerja kami, semakin cepat verifikasi dan izin, semakin bagus juga apa yang kami lakukan, begitu juga sebaliknya," ujar Erizal.

Reporter: Michael Reily