Indonesia akan kembali memasuki tahun politik seiring berlangsungnya proses Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun depan. Kendati suhu politik mulai terasa memanas, namun pemerintah diingatkan agar tak abai dengan masalah pangan, karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan bisa mempengaruhi perekonomian dalam negeri karena erat kaitannya dengan tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Kasan, mengungkapkan komoditas pangan memiliki andil sangat besar terhadap tingkat kemiskinan. Menurutnya, pada September 2017 pangan berkontribusi sebesar 73,35% terhadap kemiskinan, naik menjadi 73,48% pada medio Maret 2018.
“Pengaruh pangan sangat penting untuk menekan angka kemiskinan,” kata Kasan di Jakarta, Senin (24/9).
(Baca : Atasi Kisruh Beras, Kadin Siap Sampaikan Usulan ke Pemerintah)
Menurutnya, stabilitas harga ditentukan oleh suplai dan permintaan. Pemerintah menargetkan inflasi bisa tetap terjaga di kisaran 3,5% pada tahun ini dan mengantisipasi dampak kebijakan tahun politik.
Salah satu caranya, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 57 Tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) beras dan Permendag 58 Tahun 2018 tentang harga acuan penjualan di tingkat petani dan konsumen dengan tujuan untuk menjaga inflasi volatile food tetap berada pada level 4%.
Kasan menyebutkan ada empat upaya yang dilakuan Kementerian Perdagangan untuk mencapai sasaran inflasi, yaikni terkait keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, serta komunikasi yang efektif antarpemerintah. “Selama dua tahun telah kita buktikan inflasi terjaga pada Ramadan,” ujarnya.
Beras, menurutnya masih menjadi komoditas utama yang ketersediaanya harus tetap dijaga. Kasan menuturkan, Cadangan Beras Pemerintah (CBP) setidaknya harus mencapai 3% hingga 5% terhadap total asumsi konsumsi beras dalam negeri sebanyak yang mencapai 30,37 juta ton pada 2018, berdasarkan neraca beras Kementerian Pertanian. Alhasil, tahun ini pasokan beras wajib dijaga di kisaran 900 ribu ton sampai 1,5 juta ton.
Proyeksi Permintaan Pangan 2019
Proyeksi Permintaan | Ribu Ton/Tahun |
Beras | 26.253 |
Daging | 706 |
Gula | 2.320 |
Ayam dan Telur | 2.140 |
Jagung | 528 |
Bawang Merah | 782 |
Bawang Putih | 483 |
Cabai Merah | 533 |
Cabai Rawit | 455 |
Kedelai | 2.000 |
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2018
Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan optimistis menyambut 2019 pihaknya mampu menyediakan kebutuhan pangan, terutama beras. Sebab, saat ini hanya ada empat jenis kebutuhan pokok yang ketersediaannya di dalam negeri masih defisit sehingga memerlukan impor, yakni kedelai, gula, bawang putih, dan daging.
(Baca : Kisruh Berjilid-jilid Impor Beras yang Berujung “Perang” Menteri)
Agung pun memperkirakan produksi komoditas pertanian tahun depan akan membaik dengan pemerataan pembangunan yang terfokus kepada petani. Sebab, peningkatan kesejahteraan petani dapat memicu penurunan jumlah masyarakat miskin di perdesaan.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), level penduduk miskin perdesaan pada 2015 14,21%, turun ke angka 13,20% tahun ini. Nilai Tukar Upah Petani juga naik dari 107,44 menjadi 111,47 pada periode yang sama. “Itu menunjukkan kesejahteraan petani meningkat,” kata Agung.
Khusus komoditas beras, dia menyebutkan pasokan pemerintah dalam posisi aman untuk dijadikan acuan dan juga operasi pasar jika harga naik. Menurutnya, penyerapan beras dalam negeri jumlahnya mencapai 1,43 juta ton ditambah pasokan impor sebanyak 1,49 juta ton.
Target Produksi Pangan 2019
Komoditas | Target (Juta Ton) |
Padi | 84,00 |
Jagung | 33,00 |
Daging | 0,75 |
Kedelai | 2,80 |
Bawang Merah | 1,41 |
Bawang Putih | 0,079 |
Tebu | 2,50 |
Cabai | 2,29 |
Sumber: Kementerian Pertanian, 2018
Soroti Bulog
Sementara itu, perusahaan pelat merah Perum Bulog juga tak luput dari sorotan dalam kaitannya pada masalah ketahanan pangan.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Husein Sawit menyebut Bulog memiliki posisi tawar yang lemah dalam menjaga stabilitas pangan, terutama beras. Hal itu tercermin dari realisasi penyerapan beras dalam negeri Bulog tahun lalu sekitar 58% dengan total volume sebesar 2,16 juta ton atau lebih rendah dari yang ditargetkan sebanyak 3,7 juta ton.
(Baca : Menko Darmin Paparkan Kronologi Heboh Impor Beras Bulog vs Mendag)
Sedangkan hingga 22 September, penyerapan Bulog hanya sebesar 1,43 juta ton dari target 2,7 juta ton. Husein memperkirakan, dalam 3 bulan terakhir, serapan beras Bulog hanya akan bertambah sekitar 350 ribu ton. Sehingga secara total, realisasi penyerapan beras Bulog hingga akhir tahun diprediksi hanya akan mencapai 67% dengan total volume sekitar 1,8 juta ton.
“Pengadaan dari luar negeri itu sebagai komplementer penguatan stok Bulog dan hal biasa dalam manajemen pangan, seharusnya tak perlu saling tuding dalam impor,” ujar Husein.
Menurutnya, posisi Bulog juga dinilai lemah karena volume impor komposisinya lebih besar dalam stok Bulog. Alhasil, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tak lagi relevan.
Meski begitu, Husein memprediksi pemerintah tidak akan menikkan HPP pada tahun politik karena harga beras di tingkat konsumen akan terkerek naik. Namun, pengadaan dalam negeri yang akan didorong dengan pembatasan impor guna mengerek elektabilitas.
Sekain itu, dia pun mengkhawatirkan potensi terjadinya krisis beras jika pengaruh cuaca dan pemerintah lambat merespon potensi gagal panen. “Bulog jangan cari peran untuk stabilitas ketika masa panen, coba lihat nanti dalam jangka panjang,” kata Husein.
Direktur Utama Budi Waseso sebelumnya memang kerap mengeluhkan kebijakan impor yang dianggap tidak perlu. Alasannya, operasi pasar yang dilakukan sejak awal September tidak efektif karena posisi suplai di pasar yang cukup besar.
Data Pasar Induk Beras Cipinang, pasokannya masih di atas 40 ribu ton dalam masa panen gadu. Budi menyebut dalam melaksanakan penugasan impor Bulog kerap menggunakan pinjaman bank dengan bunga berjalan memberatkan.
Tak hanya itu, dia juga mengeluhkan kurangnya kapasitas gudang Bulog jika stok beras di gudang yang ada penuh lantaran kedatangan beras impor.
Padahal, perusahaan pelat merah itu punya tanggung jawab terhadap 11 komoditas strategis yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016. Namun, pada praktiknya Bulog hanya mengurus beras. “Itu pun masih menunggu penugasan pemerintah,” ujar Budi.
Pria yang akrab disapa Buwas ini menekankan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan BPS untuk bersinergi bersama Bulog dalam pendataan pangan untuk penentuan keputusan yang tepat. Dalam jangka pendek, dia meminta ada regulasi yang akan mengatur pengelolaan CBP secara efektif.
Selain itu, menurutnya Bulog akan berfokus pada masalag penyerapan beras petani yang. Sebab, HPP Bulog akan menjadi acuan harga dan kebutuhan petani sebagai off-taker padi.
Meski menyebut sejumlah kendala Bulog sebagai perusahaan yang harus meraup profit, dia mengaku akan tetap menjalankan penugasan dan menunggu keputusan pemerintah terhadap peran Bulog sebagai stabilitator komoditas strategis. “Itu keputusan pimpinan,” katanya.
Arah Perbaikan
Pengamat Pertanian Bayu Krisnamurthi justru berpandangan lain. Mantan Wakil Menteri Perdagangan itu menyebut masalah Bulog ada pada pendanaan. Alasannya, mekanisme pengadaan beras harus dilakukan secara komersial, sementara stok beras yang ada di gudang menjadi milik pemerintah.
Karenanya, Bayu beranggapan agar pendanaan pengadaan beras Bulog harus diserahkan di awal dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) untuk meminimalisir tekanan pada beban keuangan Bulog. Apalagi Bulog juga bertugas melakukan pengadaan Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Sosial (Bansos).
“Ini poin kritis, harus ada perubahan,” ujarnya.
Ketua Komite Ketahanan Pangan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Fransiscus Welirang menekankan ketahanan pangan menjadi tanggung jawab stakeholders pangan. Sebab, pangan jadi jaminan pemenuhan kebutuhan karbohidrat dan protein bagi masyarakat. Namun, pemerintah harus berada dalam posisi yang menyejahterakan petani sekaligus menjaga harga di tingkat konsumen.
“Tugas pemerintah untuk menjaga kestabilan di tengah semua pihak,” kata Fransiscus.