TBLA Kebanjiran Order Biodiesel dari Pertamina dan Tiongkok

Arief Kamaludin | Katadata
Biodiesel murni dan campuran solar dengan kadar 10 dan 20 persen.
Penulis: Ekarina
29/8/2018, 09.00 WIB

Penerapan program pencampuran solar dengan minyak kelapa sawit 20% (B20) pemerintah menuai berkah bagi perusahaan produsen biodiesel. PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA), emiten perkebunan sawit mendapat kontrak pemesanan biodiesel dari PT Pertamina (Persero) dan perusahaan Tiongkok sebesar 110.000 ton hingga akhir tahun.

Wakil Presiden Direktur Tunas Baru Lampung Sudarmo Tasmin mengatakan saat ini perusahaan telah mengantongi pesanan biodisel dari Pertamina sejumlah 90.000 ton dan 20.000 ton biodisel dari perusahaan asal Tiongkok yang akan dikirim dalam dua tahap.

"Perkembangan yang kami rasa menarik, dulu kami hanya mengandalkan satu single buyer  yakni Pertamina tapi per Juli kemarin kami juga mendapat order 20.000 ton dari Tiongkok," kata Sudarmo di Jakarta, Selasa (28/8).

(Baca : Pertamina Kekurangan Pasokan Minyak Nabati untuk Penerapan B20)

Sudarmo mengatakan, kebijakan mandatori B20 pemerintah menyebabkan utilisasi pabrik perseroan meningkat dari yang ada saat ini sebesar 40%. Tunas Baru Lampung saat ini tercatat memiliki kapasitas produksi biodisel sebanyak 300.000 ton per tahun dari pabrik biodiesel perseroan di Lampung. Namun, jika dalam perkembangannya permintaan biodiesel ke depan meningkat tajam, maka perseroan juga kemungkinan akan mengoptimalisasi kapasitas produksi biodiesel perseroan di pabrik Surabaya dan Palembang.

Dia juga menyebut, meningkatnya order biodiesel turut berdampak terhadap kenaikan kontribusi penjualan biodiesel perseroan dari yang sebelumnya hanya sekitar 9% menjadi 15%-20% serta meningkatkan harga jual CPO. Adapun saat ini, sumbangan penjualan terbesar perseroan masih berasal dari bisnis kelapa sawit dan gula rafinasi.

Pada tahun ini perusahaan menargetkan pendapatan sebesar Rp 9 triliun. Sementara hingga semester I 2018, Tunas Baru Lampung telah mencatat realisasi pendapatan sebesar Rp 4 triliun dengan capaian laba bersih Rp 352 miliar.

Pemerintah sebelumnya telah menerbitkan peraturan terkait pencampuran 20% minyak nabati ke Bahan Bakar Minyak (BBM) atau B20. PT Pertamina (Persero) sebelumnya menyatakan hingga kini belum bisa menjalankan secara penuh kebijakan B20 karena terkendala pasokan minyak nabati (Fatty Acid Methyl Esters/FAME).

(Baca juga : Jokowi Wajibkan Seluruh Mesin Diesel Gunakan Biodiesel)

Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Hamid mengatakan dari 112 terminal BBM, hanya 60 yang sudah menyalurkan B20. "52 terminal belum ada pasokan FAME dari badan usaha," kata dia dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Jakarta, Selasa (28/8).

Dengan kebijakan B20, Pertamina memprediksi mulai September hingga Desember ada tambahan kebutuhan FAME sekitar 383.320 kiloliter (KL) untuk pencampuran BBM nonsubsidi. Sedangkan tambahan FAME untuk BBM subsidi periode November-Desember mencapai 495.457 kilo liter (KL).

Mengacu Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018, pemerintah mewajibkan penggunaan biodiesel untuk sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO per 1 September 2018. Tujuannya untuk mengurangi impor BBM sehingga menghemat devisa.

Pemerintah telah menyiapkan sanksi bagi badan usaha yang tidak menggunakan campuran 20% Bahan Bakar Nabati (BBN) ke Bahan Bakar Minyak (BBM) atau B20. Sanksi ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan sanksi itu dikenakan ke pemasok minyak nabati dan penyalur bahan bakar yang sudah dicampur BBN 20%. Denda itu pun bervariasi, mulai dari membayar sejumlah uang hingga pencabutan izin usaha.