Astra Agro Siap Operasikan Pabrik Kelapa Sawit Baru Awal 2019

Arief Kamaludin|KATADATA
Petani memanen buah kelapa sawit di salah satu perkebunan kelapa sawit di Desa Delima Jaya di Kecamatan Kerinci, Kabupaten Siak, Riau.
Penulis: Ekarina
28/8/2018, 15.17 WIB

PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), emiten produsen sawit  yang juga anak usaha perusahaan konglomerasi PT Astra International Tbk (ASII) tengah merampungkan pembangunan satu unit pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) baru di Kalimantan Selatan. Pabrik kelapa sawit ke 32 miliki perseroan yang dibangun dengan investasi sebesar Rp 240 miliar itu ditargetkan rampung dan siap beroperasi pada awal tahun depan.

"Tahun depan kami akan mengoperasikan pabrik baru di Kalimantan berkapasitas 40 ton per jam," kata Direktur Utama Astra Agro di Jakarta (28/8).

Dengan beroperasinya pabrik baru tersebut secara otomatis akan menambah kapasitas pabrik perusahaan tahun ini menjadi sekitar 1.555 ton per jam. Saat ini, perusahaan tercatat telah memiliki sekitar 31 unit pabrik kelapa sawit dengan total kapasitas prouduksi sebesar 1.510 ton per jam.

(Baca : Laba Astra Agro Anjlok 55% Tertekan Pelemahan Harga Jual Sawit)

Selain itu, perusahaan juga akan mengoperasikan 2 unit Crude Palm Oil (CPO) refinary berkapasitas 3.000 ton CPO per hari di Sulawesi Barat dan Dumai, Riau. Dari perusahaan tersebut juga nantinya akan mengoperasikan satu unit Palm Kernel Oil (PKO) refinery dengan kapasitas pengolahan sebesar 400 ton per hari di Sulawesi Barat.

Santoso mengatakan industri kelapa sawit saat ini masih menghadapi tantangan pelemahan permintaan dan harga jual. Namun, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah menerapkan mandatori B20 sebagai salah satu kebijakan untuk menggenjot permintaan sawit. Harapannya, dengan permintaan sawit yang meningkat harga jual bisa ikut terangkat dari jual yang saat ini yang masih berada di kisaran US$ 70 per ton.

Sementara untuk mengantisipasi ketergantungan perusahaan terhadap bisnis perkebunan sawit, sejak 2017 perseroan telah melakukan diversifikasi bisnis ke sektor pembibitan dan penggemukan sapi. Hingga semester I 2018, jumlah sapi yang dimiliki perusahaan telah mencapai sekitar 4.000 ekor untuk bisnis penggemukan atau meningkat dua kali lipat dibanding tahun lalu yang masih sekitar 2.000 ekor.

(Baca juga : Atasi Kampanye Hitam CPO, Astra Agro Genjot Ekspor ke Timur Tengah)

"Kami akan mengimpor lagi sekitar 2.000 ekor sapi. Sehingga sampai akhir tahun ini harapannya lini bisnis sapi bisa meningkat hingga tiga kali lipat," kata dia.

Permintaan komoditas sapi dalam negeri saat ini tercatat cukup tinggi. Produksi daging sapi lokal diprediksi belum mampu memenuhi total kebutuhan dalam negeri. Data Kementerian Pertanian, menyebutkan total produksi daging sapi nasional sepanjang 2018 diperkirakan mencapai sekitar 403.668 ton dengan total kebutuhan mencapai 663.290 ton. Sehingga pemenuhan kebutuhan daging sapi masyarakat baru 60,9% yang mampu dipenuhi dari peternak sapi lokal.

Dengan proyeksi angka tersebut, pemerintah akan mengambil langkah guna memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri dan mendukung capaian swasembada daging salah satunya dengan percepatan peningkatan populasi sapi atau kerbau.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita mengatakan guna mendorong optimalisasi produksi sapi salah satu upaya yang akan ditempuh pemerintah ialah dengan meningkatkan pembiayaan di subsektor peternakan khususnya sapi. Alokasi anggaran untuk peternakan sapi akan diperbesar dan difokuskan kepada Upsus SIWB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting).

“Dengan program yang dijalankan pemerintah, produktivitas sapi lokal diharapkan bisa meningkat,” kata Ketut dalam keterangan resmi, pekan lalu.

Selain itu, untuk strategi pengembangan sapi potong akan lebih diarahkan pada struktur hulu yaitu ke arah pembibitan dan pengembangbiakan. Pasalnya, industri sapi dan daging sapi saat ini cenderung berkembang ke arah hilir, terutama untuk bisnis penggemukan dan impor daging.

Karenanya, swasambeda akan mengubah pola pikir peternak, dari yang semula memiliki cara beternak sambilan, menuju perilaku usaha serius dan menguntungkan. Dengan begitu, harapannya Indonesia bisa merealisasikan tujuannya sebagai lumbung pangan Asia pada 2045.