Pemerintah terus mendorong diversifikasi pangan nasional untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan produksi pangan di daerah. Hal ini antara lain dilakukan dengan mengurangi konsumsi beras sebesar 1,5% dan terus menggali potensi keragaman pangan khas yang bergizi di sejumlah daerah di Indonesia.
Kementerian Pertanian mencatat, konsumsi beras masyarakat Indonesia saat ini mencapai 2,5 juta ton per bulan. Untuk memenuhi permintaan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan bahkan sampai menerbitkan izin impor beras sebanyak 1 juta ton pada 2018.
Padahal, keragaman pangan lokal di daerah terus menggeliat. Seperti pada komoditas beras jelai, tanaman jenis serelia yang banyak terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Beras jelai disebut lebih sehat karena memiliki kadar gula dan karbohidrat yang lebih rendah dari beras hasil padi.
Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Timur Ibrahim menyatakan jelai merupakan tanaman yang dikembangkan untuk mensubstitusi kebutuhan beras.
(Baca : Pengembangan Keanekaragaman Pangan Indonesia Meningkat)
Menurutnya, produksi jelai di Kalimantan Timur baru dimulai pada 2014, sehingga luas lahannya masih relatif kecil yakni sekitar 15 hektare dan produktivitasnya juga masih rendah, hanya sekitar 10 ribu batang per hektare, berdasarkan kalkulasi kasar.
“Kami terus menggalakkan diversifikasi pangan bergizi,” kata Ibrahim kepada Katadata, Jumat (27/7).
Jelai merupakan salah satu produk asli Kalimantan Timur. Namun, tanaman biji-bijian ini juga tumbuh di Pulau Jawa dengan nama jali.
Ibrahim mengatakan petani masih belum melihat potensi penjualan jelai, sehingga penanamannya belum terlalu gencar. Harganya pun dua kali lebih mahal dibandingkan beras, yang mana bisa mencapai Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu per kilogram karena produktivitasnya yang rendah.
Kementerian Kesehatan pun sebelumnya telah menganjurkan mengkonsumsi tanaman ini. “Penjualan jalai sendiri saat ini paling banyak masih ke rumah sakit,” ujarnya.
Dengan begitu, jalai menjadi salah satu proyek percontohan tanaman yang akan terus dikembangkan oleh pemerintah Kalimantan Timur, salah satunya dengan menggandeng lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk meningkatkan produktivitas.
Lain daerah, lain lagi produk andalan yang dikembangkan. Kepala Dinas Pangan Provinsi Sulawesi Tengah Abdullah Kawuludan mengungkapkan sagu merupakan makanan pokok di daerahnya. Namun, fokus pemerintah terhadap padi, jagung, dan kedelai membuat citra sagu tak begitu populer di kalangan petani.
Oleh karena itu, Abdullah berupaya terus mendorong sagu sebagai komoditas andalan daerahnya. Namun, dengan segmen pasar yang terbatas, hal tersebut membuat pengembangan komoditas sagu menjadi cukp menantang. “Potensi untuk dikonsumsi minimal di Sulawesi Tengah, namun pengemabngannya coba terus kami upayakan,” katanya.
Abdullah menyebutkan saat ini hanya dua kabupaten di Sulawesi Tengah yang menjadikan sagu sebagai panganan utama, yakni di kawasan Morowali dan Buol. Masih jauh dibandingkan keseluruhan 13 kabupaten dan kota yang ada di sana. Produksi bulanannya pun masih sangat minim, sekitar 500 ton.
(Baca : Pemerintah Genjot Ekspor Pangan ke Arab dengan Sertifikasi Halal)
Selain terbatasnya target pasar, hal lain yang menjadi kendala pengembangan komdoitas sagu antara lain karena pembudidayaannya yang belum teratur. Masih banyak petani yang belum paham mengenai jarak tanam dan ukuran tegakan yang pas dalam proses produksi. Pemerintah Sulawesi Tengah pun mencoba untuk mengakomodasi kesulitan itu, meski butuh usaha yang keras. “Kami terus rancang persiapan supya tepat sasaran,” ujar Abdullah.
Keluhan tentang tanaman pangan yang tidak diperhatikan pemerintah pusat tidak hanya terlontar dari pemerintah daerah di luar Pulau Jawa. Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Pandegelang juga mencoba mengubah kondisi geografis daerahnya yang kurang mendukung iklim pertanian menjadi potensi kekayaan tanaman pangan dengan menggali potensi tanaman liar umbi-umbian.
Kepala Bidang Konsumsi dan Keanekaragaman Pangan, Dinas Ketahanan Pangan, Kabupaten Pandegelang, Rosi Sukmawati mengatakan pihaknya telah memprakarsai kelompok tani wanita untuk menggarap tanaman liar seperti talas beneng. Program yang dimulai pada tahun 2012 itu pun disebut telah buah hasil. Saat ini telah terdapat 70 hektare lahan talas beneng di 13 kecamatan dengan total produksi sebanyak 10 ton per bulan.
Selain dikonsumsi secara utuh, talas beneng saat ini juga sudah mamou diubah oleh kelompoknya menjadi tepung agar bisa diolah menajdi bahan panganan lain.
Rosi menyebut, awalnya pemerintah pusat memberikan mesin proses untuk mengubah padi menjadi tepung, namun Rosi berpikir untuk menggunakan talas beneng. Alhasil, Pandegelang pun saat ini mampu memproduksi tepung talas beneng. “Potensi kebutuhan dan penggunaan tepung sangat bagus,” katanya.
Produksi tepung talas beneng pun saat ini mencapai 5 ton per bulan. Kementerian Pertanian juga memberikan sertifikat khas untuk talas beneng agar bisa terus dikembangkan lagi priduksnya ke depan sebagai produk khas Pandeglang.
Rosi mengatakan produksi talas beneng saat ini terus digenjot karena permintaan tepung beneng terus meluas ke berbagai daerah. Dia menjelaskan permintaan tepung beneng saat ini bahkan telah melebihi kapasitas produksi dan treus bertambah. Menurutnya, tepung beneng mampu mengganti tepung terigu karena lebih halus dan lebih bersih kandungannya.
Oleh karena itu, dia meminta anggaran di daerah ditingkatkan untuk produksi diversifikasi pangan. Alasannya, Pandegelang juga memproduksi tepung dari ubi ungu, mocaf, cassava, sukun, dan ganyong. “Jika anggaran memungkinkan kami akan meminta pengadaan benih lebih banyak,” ujar Rosi.
(Baca juga : Bantuan Benih Jagung ke Petani Dituding Tidak Tepat Sasaran)
Keanakeragaman pangan memang salah satu hasil dari kreativitas pengolahan makanan dan kecerdikan melihat kesempatan. Perum Bulog pun tak mau ketinggalan, perusahaan pelat merah ini menggunakan bahan baku yang masih asing untuk menghasilkan baso: daging kerbau.
Tim dari Bulog memberikan baso percobaan kepada beberapa orang, responsnya positif. Namun, ketika diberitahukan bahan baku daging kerbau, orang-orang yang mencoba kaget. “Tidak ada yang menyangka kalau baso daging kerbau itu enak,” kata staf Hubungan Masyarakat Bulog Taufiq.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menuturkan pihaknya terus mendorong semangat masyarakat daerah untuk terus mengembangkan keanekaragaman pangan berdasarkan sumber gizi dalam bentuk karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Dia ingin mendorong kekayaan produksi lokal untuk memperkaya kuliner nusantara. Termasuk juga untuk menggali peluang dan membangun kerja sama seluruh stakeholder terkait pengembangan pangan nusantara hingga dapat bersaing di kancah global.
“Penganekaragaman pangan dari sisi konsumsi dapat memperbaiki kualitas konsumsi pangan,” kata Syukur.
Perbaikan itu ditunjukkan dengan peningkatan skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 86,0 pada tahun 2016 menjadi 90,4 pada tahun 2017.