Maskapai penerbangan pelat merah Garuda Indonesia menjelaskan mengapa piutang Mahata Aero Teknologi dimasukkan dalam pos pendapatan perseroan tahun buku 2018. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal mengatakan hal tersebut sudah sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23.
Dalam PSAK 23, pendapatan dari penjualan jasa diakui jika beberapa kondisi dipenuhi. Pertama, jumlah pendapatan dapat diukur secara andal. Kedua, kemungkinan manfaat ekonomi mengalir ke entitas. Ketiga, tingkat penyelesaian transaksi pada akhir periode pelaporan dapat diukur. Keempat, biaya yang timbul untuk transaksi dan penyelesaiannya dapat diukur.
(Baca: Alasan Garuda Gandeng Mahata, Jaringan Global Hingga Ongkos Investasi)
Direktur Teknik dan Layanan Garuda Indonesia Iwan Joeniarto mengatakan dari empat kriteria tersebut, manajemen Garuda sudah melihat arus kas dan nilai transaksi bahwa bisnis ini menguntungkan ke depan. "Jadi manajemen sudah mengkaji dan secara kas dan nilai bisnis ini menguntungkan," kata dia dalam keterbukaan publik insidentil di hangar Garuda Maintenance Facility (GMF), Banten, Rabu (8/5).
Dari data yang dipaparkan Garuda, maskapai tersebut memang belum mendapatkan pemasukan dari proyek in-flight entertainment (IFE) dan in-flight connectivity (IFC) tahun ini. Namun pada 2020, perseroan akan mendapat pemasukan US$ 11 juta dari IFE dan US$ 29,7 juta dari IFC. Pemasukan tersebut akan terus meningkat hingga mencapai US$ 22 juta dari IFE dan US$ 59,4 juta dari IFC pada 2033.
Alasan Garuda Indonesia Gandeng Mahata
Iwan mengatakan meski termasuk bisnis rintisan yang berdiri kurang lebih 11 bulan, namun Mahata merupakan perusahaan yang juga memiliki kontrak dengan perusahaan kelas dunia seperti Lufthansa System, Lufthansa Technik, Inmarsat, hingga CBN.
Perusahaan-perusahaan tersebut menurut Iwan merupakan perusahaan yang menerapkan prinsip know your customer (KYC) yang tertib dalam menentukan rekaman. "Kami sebagai perusahaan terbuka juga lakukan kriteria vendor sebelum menjalankan bisnis," kata Iwan.
Selain itu, menurut dia, Mahata didukung perusahaan induk yakni Global Mahata Group dengan nilai bisnis keseluruhan US$ 640,5 juta. Hal yang juga tak kalah penting adalah tawaran Mahata bahwa Garuda tak usah mengeluarkan ongkos investasi sepeser pun dan pemasukan lewat bagi hasil (revenue sharing).
"Ini konsep yang baru, zero investment," kata dia. Targetnya, Wi-Fi dapat terpasang pada pesawat grup Garuda Indonesia dalam kurun waktu satu setengah tahun ke depan.
Sesali Adanya Polemik
Iwan mengatakan langkah ini bagian dari transformasi Garuda sebagai maskapai berbasis digital. Dia menjelaskan sebelumnya penyediaan wi-fi ini sudah dilakukan maskapai lain di negara Eropa seperti Norwegia. Oleh sebab itu konsep serupa menurutnya dapat dilakukan oleh Garuda. "Mereka (Mahata) bisa mendapatkan bagi hasil, datang dari misalnya iklan, inflight connectivity, hingga hiburan," kata dia.
(Baca: Kisruh Laporan Keuangan, Garuda Akui Belum Terima Bayaran dari Mahata)
Hanya saja, transaksi dengan Mahata ini diakui oleh manajemen Garuda bahwa mereka belum mendapatkan pembayaran dari Mahata hingga saat ini. Fuad mengatakan saat ini manajemen sudah berbicara dengan Mahata untuk finalisasi pembiayaan dengan investor.
Fuad juga menyayangkan adanya polemik laporan keuangan mengingat ini hanya transaksi bisnis biasa. "Disayangkan karena ini kan business to business, selain itu transaksi ini juga melibatkan investor asing," kata dia.
Mahata juga telah mengeluarkan rilis yang menyebut tanggal 8 April lalu telah mendapat suntikan modal dari Well Vintage Enterprise FZE Dubai senilai US$ 21 juta. Suntikan modal ini akan digunakan untuk memasang fasilitas internet di pesawat milik Garuda Indonesia.
Presiden Direktur Mahata, M. Fitriansyah pada November lalu mengatakan bahwa kedepannya akan ada bagi hasil yang dilakukan perusahaan bersama Garuda. Ini lantaran Mahata mencari pemasukan dari pengembangan bisnis layanan Wi-Fi tersebut. "Karena kami ada kerja sama dengan tiga macam, e-commerce, advertising (iklan), dan permainan online," kata Fitriansyah saat itu.
Polemik soal laporan keuangan Garuda ini bermula saat dua Komisaris Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak laporan keuangan Garuda 2018. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan PSAK.
(Baca: Kisruh Lapkeu Garuda, OJK: Hanya Masalah Komunikasi dengan Direksi)
Menurut dua komisaris tersebut, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta atau setara Rp 70,76 miliar.
Keberatan dua komisaris Garuda Indonesia tersebut didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditanda tangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni Citilink Indonesia dengan Mahata. Menurut mereka, komitmen dari Mahata yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018.
Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia. Sriwijaya saat ini merupakan bagian dari grup tersebut.
(Baca: Kisruh Laporan Keuangan Garuda, Kementerian BUMN Tak Bisa Intervensi)