Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meminta masukan dari sejumlah ahli hingga psikolog untuk mencari jalan keluar atas polemik penggunaan Global Positioning System (GPS) dalam berkendara. Hal ini dilakukan agar kementerian transportasi tersebut dapat mengatur secara teknis penggunaan sistem navigasi ini.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiadi mengatakan, masukan dari para ahli dan psikolog penting untuk menerjemahkan makna pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam ketentuan itu, pengendara kendaraan bermotor wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Kajian spesifik diperlukan untuk mengetahui makna dan cakupan gangguan konsentrasi ketika berkendara. Salah satunya apakah penggunaan sistem navigasi berbasis satelit tersebut mengganggu konsentrasi. Apalagi, GPS menjadi petunjuk terutama bagi pengemudi yang tidak mengetahui lokasi tujuannya secara persis.
"Kami kerja sama dengan pakar transportasi dan psikolog untuk melihat apa GPS itu mengganggu konsentrasi," kata Budi saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (13/2).
Langkah ini diambil seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa hari lalu yang memastikan GPS dilarang penggunaannya ketika mengendarai kendaraan bermotor. Dengan berbasis kajian, Kemenhub dapat mengatur secara teknis penggunaan GPS. Budi menjelaskan aturan pemakaian alat ini dapat diatur dengan aturan teknis seperti Peraturan Menteri Perhubungan atau Peraturan Polri.
(Baca: Tarif Tol Mobil Penumpang ke Bandara Soekarno Hatta Naik)
Meski demikian, selama pengkajian berlangsung penggunaan GPS ketika berkendara tetap akan dilarang. Budi mengatakan, pengemudi yang ingin melihat panduan perjalanan dapat meminggirkan kendaraannya terlebih dahulu. Dia mengakui ketentuan ini dapat diperdebatkan lantaran kemajuan teknologi. "Memang debatable, tapi sementara jangan digunakan (ketika berkendara) dulu," kata dia.
Meski Kemenhub tidak mengetahui jumlah kecelakaan akibat penggunaan GPS, namun alat ini juga bisa menimbulkan bahaya apabila masyarakat tidak hati-hati memakainya. Direktur Lalu Lintas Perhubungan Darat Pandu Yunianto mengatakan, masalah kerap terjadi pada pengendara sepeda motor lantaran desain awal kendaraan roda dua itu tidak menyediakan alat penempaten GPS permanen.
Adapun penggunaan GPS di kendaraan roda empat lebih dimungkinkan. "Tugas kami bicara dengan pakar agar hal itu bisa diatur," kata Pandu. Gugatan atas ayat 1 pasal 106 UU Nomor 2 2 Tahun 2009 tersebut disampaikan oleh Toyota Soluna Club. Pasalnya, teknologi GPS saat ini dapat digunakan dalam bentuk aplikasi di telepon selular.
Menurut penjelasan pasal 106 ayat 1, penuh konsentrasi berarti pengemudi tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman beralkohol atau obat yang mempengaruhi kemampuan mengemudi. Meski demikian, MK akhirnya menolak gugatan ini.
(Baca: Tarif Ojek Online Naik, Konsumen Kembali Gunakan Kendaraan Pribadi)