Pemerintah menyatakan penentuan tarif bawah dan atas dan kuota untuk angkutan taksi berbasis aplikasi (online) akan ditentukan oleh masing-masing daerah. Sementara pemerintah pusat akan membentuk tim untuk melakukan asistensi terhadap penetapan tarif yang dilakukan pemerintah daerah (Pemda).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tidak bisa menjamin apakah pemda akan menetapkan tarif yang tinggi atau tidak untuk taksi online. Pemda dianggap lebih memahami kondisi perekonomian di daerahnya, sehingga bisa menetapkan tarif yang lebih adil antara taksi online dengan yang konvensional.
"Saya tidak mau komentar mahal atau tidak mahal. Yang lebih penting adalah level of playing field," kata Darmin di Jakarta, Selasa (21/3). (Baca: Grab, Gojek, Uber Kompak Tolak Batasan Tarif Taksi Online)
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, keputusan menyerahkan kewenangan penentuan tarif kepada Pemda ini berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya karena karakteristik pasar dan demografi masing-masing daerah berbeda.
Nantinya, penentuan tarif akan didasarkan pada perhitungan biaya operasional, pajak kendaraan, dan marjin keuntungan yang diperoleh mitra pengemudi di masing-masing daerah.
“Penyesuaian tarif dan kuota ini butuh diskusi. Karena satu daerah dan daerah lain berbeda (karakteristiknya). Jadi daerah kami berikan kewenangan untuk mengusulkan,” kata Budi usai melakukan video conference dengan Pemerintah Daerah terkait sosialisasi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (21/3).
Budi mengatakan penetapan tarif batas bawah dan atas ditujukan sebagai dasar hukum bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan bisnis taksi online. Penetapan tarif dinilai dapat melindungi para stakeholder taksi online dan konvensional dari persaingan yang tidak sehat. (Baca: Menhub: Ricuh Taksi Online dan Konvensional Dipicu Provokator)
Penetapan tarif batas atas dapat menghindarkan konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan penyelenggara transportasi yang memiliki posisi dominan, dalam bentuk harga yang terlalu tinggi. Selanjutnya, penetapan tarif juga menjadi landasan hukum supaya Kepolisian Daerah setempat dapat melakukan penegakan hukum bagi penyelenggara yang melanggar.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menilai jika tidak ada penetapan tarif, maka berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan akan merugikan para supir mitra. Sebab, tarif murah yang diperoleh konsumen saat ini ditopang oleh subsidi dana dari angel investor perusahaan penyedia aplikasi taksi online.
“Sekarang ini murah itu karena ada subsidi, ini bisa merugikan pengemudi dan secara long term (jangka panjang) akan ada penguasaan berlebihan. Kami ingin beberapa operator ini tetap eksis dan masyarakat terus diuntungkan,” katanya. (Baca: Grab Minta Pemerintah Tunda Pembatasan Tarif Taksi Online)
Lebih lanjut, Kemenhub juga akan memberikan toleransi waktu selama tiga bulan bagi para mitra supir taksi online untuk melakukan penyesuaian untuk mengurus perubahan KIR, STNK, dan SIM. Sehingga, dalam tiga bulan setelah Permenhub 32/2016 berlaku pada 1 April 2017, para supir mitra tersebut akan lolos dari penindakan hukum oleh Kepolisian Daerah setempat.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian mengatakan telah menyampaikan persoalan penentuan tarif pada jajaran kepolisian di daerah. Dia meminta Kepolisian Daerah melakukan diskusi dengan Dinas Perhubungan, Dinas Komunikasi dan Informasi, Pemerintah Daerah, serta para stakeholder taksi online dan konvensional.
“Tadi sudah saya sampaikan pada jajaran (Kepolisian Daerah),” kata Tito. (Baca: Jumlah Pengguna Grab Melonjak 600 Persen pada 2016)