Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno meminta PT Kereta Api Indonesia (Persero) menjadi investor dalam proyek kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT) rute Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek). Kereta Api Indonesia (KAI) diminta membiayai pembangunan proyek tersebut karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak cukup.
Direktur Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk., Budi Harto mengatakan, pihaknya bersama dengan KAI telah melakukan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Rini. Rapat ini membahas tentang skema pembiayaan proyek LRT Jabodebek ini. Kemudian, muncul usulan agar KAI menjadi pihak yang berinvestasi pada proyek LRT Jabodebek ini.
"Pola investasi nanti KAI yang lebih dominan. Jadi iya KAI investornya. Adhi Karya jadi kontraktornya," ujar Budi kepada Katadata saat ditemui usai rapat tersebut, di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (20/2). (Baca: Penerimaan Minim, Menkeu Putar Otak Cari Dana Proyek LRT)
Setidaknya KAI akan menggelontorkan dana sebesar Rp 7,6 triliun, sebagai modalnya pada proyek LRT ini. Mengenai sumber pendanaan yang akan digunakan KAI untuk membiayai investasi tersebut, masih dalam pembahasan dan perlu kajian lebih mendalam.
Kemungkinan besar dana tersebut akan diperoleh dari Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada KAI dan melalui pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan pelat merah bidang perkeretaapian tersebut. "Tapi ini semua masih dikajilah. Sumber pendanaan masih dikaji lagi nanti," ujar Budi.
Selain itu, dalam rapat tersebut, juga membicarakan tentang penyiapan lahan yang dibutuhkan proyek LRT. Sayangnya, Budi enggan menjelaskan lebih lanjut terkait permasalahan lahan tersebut. (Baca: Adhi Karya Teken Proyek LRT meski Pendanaan Belum Jelas)
Seperti diketahui, Kementerian Perhubungan dan Adhi Karya telah menandatangani kontrak perjanjian pelaksanaan proyek LRT Jabodebek ini walaupun skema pembiayaan belum diputuskan. Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Prasetyo Boeditjahjono menjelaskan, tata cara pembayaran pembangunan akan ditentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah kontrak.
Menurutnya, sampai dengan saat ini aturan yang mengatur pengadaan LRT ini masih menggunakan skema Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). "Setelah perjanjian ini akan didetilkan dengan kedua belah pihak (pemerintah dengan Adhi Karya). Sumber pendanaan dan cara pembayaran ini yang dicari," ujar Prasetyo saat ditemui di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (10/2).
Prasetyo menyatakan skema yang tampaknya akan menjadi pilihan utama dalam pendanaan proyek tersebut adalah dengan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Selain itu mekanisme sinergi antar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga akan dikaji.
(Baca Pemerintah Siapkan Surat Utang Syariah untuk Biayai Proyek LRT)
Sementara itu, Budi mengatakan, sambil menunggu keputusan skema pembiayaan tersebut, Adhi membutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun untuk membangun tahap awal proyek. Saat ini, pihak Adhi telah menggelontorkan dana Rp 2 triliun yang diperoleh dari dana Penyertaan Modal Negara (PMN) 2015 sebesar Rp 1,4 triliun dan sisanya dari kas perusahaan.
Untuk mendapatkan dana Rp 7 triliun tersebut, Budi mengatakan, pihaknya akan mencari alternatif pendanaan lain. "Kita akan terbitkan obligasi dan (pinjaman) dari perbankan," ujar Budi. Obligasi sendiri akan dilakukan dlam waktu dekat karena telah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara, pinjaman perbankan akan diperoleh dari 4 bank BUMN dan swasta lainnya.
Sampai dengan saat ini, pengerjaan proyek LRT Jabodebek ini baru sekitar 12 persen. Namun, dengan adanya kepastian kontrak ini dan pembiayaan yang akan dicari oleh Adhi ini, Budi optimistis pengerjaan proyek ini akan mencapai 40 persen sampai dengan akhir tahun 2017.
Lingkup pekerjaan Adhi dalam proyek LRT meliputi, jalur, termasuk konstruksi jalur layang, stasiun, fasilitas operasi, dan depo. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaannya sampai dengan tanggal 31 Mei 2019 atau 43 bulan terhitung sejak diundangkannya Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2015, tanggal 9 September 2015.
Disisi lain, Direktur Utama KAI Edi Sukmoro mengakui, dalam ratap tersebut memang membahas mengenai hitung-hitungan skema pembiayaan pembangunan jalur proyek LRT Jabodebek ini. Namun, Ia enggan menjelaskan secara rinci karena masih dalam tahap pengkajian. "Pokoknya tetap 2019 harus beroperasi," ujarnya.
Sebagai informasi, kontrak Pembangunan Prasarana LRT ini sebesar Rp 23.3 triliun, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen. Namun, tidak termasuk bunga, yakni Interest During Constructions (IDC) dan Interest During Payment (IDP). (Baca: Di Bawah Pagu, Kontrak Proyek LRT Palembang Rp 10,9 Triliun)
Nilai tersebut untuk pekerjaan pembangunan tahap 1 dengan lintas layanan, yaitu, pertama, Cawang – Cibubur sepanjang 14,3 kilometer, dengan jumlah stasiun 4 unit. Kemudian, lintas layanan Cawang - Bekasi Timur, sepanjang 18,5 kilometer dengan jumlah stasiun sebanyak 5 unit. Ketiga, lintas layanan Cawang - Kuningan - Dukuh Atas sepanjang 10,5 kilometer dengan jumlah stasiun sebanyak 7 unit.