Pengembangan infrastruktur penerbangan di Indonesia belum mampu mengimbangi pertumbuhan penumpang. Maskapai tidak hanya membutuhkan lebih banyak bandar udara dan terminal, tetapi juga runway dan apron atau tempat parkir pesawat.

Direktur Operasional Lion Air Daniel Putut mengilustrasikan kebutuhan maskapai ini layaknya tambahan jalan untuk menampung pertumbuhan kendaraan bermotor. Salah satu bandara yang masih membutuhkan penambahan fasilitas yaitu Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Meski runway, terminal, dan apron sudah mencukupi, jumlah garbarata masih terbatas. Garbarata atau boarding bridge adalah lorong penghubung pintu persawat dengan terminal bandara.

“Menteri dulu janji, waktu kami ingin membeli pesawat, akan siapkan infrastrukturnya,” kata Daniel kepada Katadata, Minggu, 22 Mei 2016. (Baca: Telat Hingga 100 Kali, Kementerian Peringatkan Lion Air).

Sementara itu, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Chappy Hakim menilai selama ini perkembangan penumpang masih dilihat sebatas pertumbuhan ekonomi karena adanya permintaan dan penawaran di pasar. Ia menilai kenaikan jumlah penumpang penerbangan tidak diiringi dengan antisipasi pembengkakan jumlah pesawat. Akibatnya, kesenjangan dari pertumbuhan penumpang dengan manajemen serta infrastruktur penerbangan makin lama makin jauh.

Chappy mengatakan harus ada banyak sumber daya manusia, termasuk teknisi, pemandu lalu lintas udara atau air traffic controller (ATC), bengkel pesawat dan ground handler di Indonesia. Ia memandang kesenjangan ini sebagai akar permasalahan yang belum bisa ditangani dengan baik sejak tahun 1990an. (Baca: Kena Sanksi, Investor dan Bank Pertanyakan Nasib Usaha Lion Air).

Pada masa tersebut muncul perubahan besar dalam rules of the game industri penerbangan. Chappy menjelaskan, pendirian maskapai, pembelian, dan penyewaan pesawat menjadi lebih mudah sejak saat itu. Fenomena ini bukan hanya dijumpai pada industri penerbangan global, juga di Indonesia.

Bersamaan dengan hal itu, muncul tren maskapai berbiaya rendah atau low-cost carrier (LCC). Kehadiran penerbangan murah kemudian mendongrak pertumbuhan penumpang yang sangat fantastis, yaitu 10 hingga 15 persen per tahun. "Tanpa diikuti penambahan fasilitas dalam industri penerbangan yang memadai," ,” kata Chappy dalam diskusi Ada Apa dengan Bandara Kita?” di Jakarta, Sabtu, 21 Mei 2016.

Menurutnya, kesenjangan ini kemudian memunculkan berbagai persoalan seperti kecelakaan, keterlambatan atau delay penerbangan, serta kesalahan pengantaran penumpang. Belum lama ini Lion Air dan AirAsia melakukan kesalahan dengan membawa penumpang internasional ke terminal kedatangan dalam negeri. (Baca: Salah Turunkan Penumpang, Lion Air Terancam Pidana).

Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Fauzih Amro menyebut di Indonesia ada sekitar 220 bandara. Sebanyak 24 bandara dikelola oleh PT Angkasa Pura I dan PT Angkara Pura II. Sementara itu, manajemen bandara-bandara lainnya ada di tangan Kementerian Perhubungan.

Ia berharap laju pertumbuhan pernumpang dan infrastruktur bisa seimbang dengan pengoperasian bandara-bandara tersebut. “Ini bukan industri yang sederhana, sehingga pemerintah harus mengawasi day-to-day,” kata Fauzih.