Bandara di Daerah Terpencil Belum dapat Panduan Evakuasi Medis

Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustrasi, bandara. Angkasa Pura I menyebut kekurangan terbesar operasional bandara di daerah terpencil saat pandemi adalah tidak adanya panduan khusus soal evakuasi medis.
Penulis: Agung Jatmiko
2/6/2020, 14.27 WIB

PT Angkasa Pura I atau AP I mengungkapkan, kekurangan terbesar operasional bandara di daerah terpencil adalah, soal panduan evakuasi medis. Kebutuhan-kebutuhan terkait medis dan bantuan sosial di daerah terpencil, seperti Papua bisa dibilang kritis.

Direktur Pemasaran & Pelayanan AP I Devy Suradji mengatakan, peraturan yang ada saat ini masih fokus mengatur soal penumpang dan logistik. Namun, untuk evakuasi medis memang masih kurang, dan tidak ada guideline yang secara khusus mengatur soal evakuasi medis di daerah terpencil.

"Evakuasi medis darurat ini kami tidak punya guideline, dan tidak jelas kapan harus dikategorikan darurat mana yang tidak. Saat ini, evakuasi medis hitungannya masih reguler," kata Devy, dalam seminar virtual atau webinar bertajuk 'Penyelamatan Industri Penerbangan dalam Situasi Krisis Covid-19', Selasa (2/6).

Perlakuan aturan memang memungkinkan di kota besar, yang memiliki fasilitas kesehatan 24 jam. Sehingga orang bisa cepat mendapatkan surat dokter, untuk kemudian diperbolehkan terbang. Namun, di daerah terpencil orang tentu kesulitan untuk mendapat surat jalan tersebut.

Oleh karena itu, Devy meminta kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bisa membuat guideline atau panduan khusus mengenai evaluasi medis di daerah terpencil.

Panduan khusus ini tergolong krusial agar petugas di lapangan bisa cepat bertindak, dan masyarakat yang memang memerlukan layanan udara untuk tujuan medis bisa langsung dilayani.

Pasalnya, panduan mengenai perjalanan yang diterapkan berlaku untuk semua, dan tidak ada panduan untuk kasus-kasus khusus. Petugas lapangan pun tidak bisa disalahkan, karena mereka bergerak berdasarkan peraturan yang ada.

"Ini yang perlu dirumuskan segera, bagaimana kita bisa menjangkau saudara-saudara kita di remote area," ujarnya.

(Baca: AP II Perketat Pemeriksaan, Ratusan Penumpang Pesawat Batal Berangkat)

Untuk logistik, pelayanan di bandara masih terus jalan, bahkan hingga daerah terpencil. Sebagai contoh, di AP I bandara tersibuk justru bandara termudanya, yakni Bandara Sentani, yang tiap hari melayani penerbangan logistik ke beberapa daerah di Papua.

Saat ini, arus logistik dari Bandara Sentani rata-rata mencapai 450 ton per hari, dengan penerbangan menuju Sorong, Nabire, Wamena, dan Biak. Artinya, logistik masih terus bergerak.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh pengelola bandara adalah, soal pengaturan pengunjung yang memaksa pengelola bandara bekerja ekstra keras. Sebagai gambaran, pada Senin (1/6), AP I harus menghadapi lonjakan pengunjung, yang salah satunya karena jumlah penerbangan ditambah.

Namun, yang menjadi masalah adalah bukan penumpang, melainkan orang yang mengantar. Hal ini membuat aturan physical distancing pun harus diterapkan secara ketat untuk pihak pengantar, yang seringnya menunggu penumpang benar-benar selesai rapid test dan masuk ruang check-in.

"Aturan rapid test dan jaga jarak antar penumpang memang bagus untuk mencegah penyebaranh virus corona. Namun kami selaku pengelola bandara setiap hari harus berjibaku, tak hanya mengatur penumpang, namun juga pengantar yang lebih banyak," ujar Devy.

(Baca: Bisnis Terpukul Corona, Angkasa Pura Tak PHK dan Potong Gaji Karyawan)