Raih Pendanaan Rp 30 M, Startup Haus! Ambisi Berekspansi 3.000 Gerai

Haus.Indonesia / Instagram
Perusahaan minuman kekinian Haus! Indonesia memaparkan rencana ekspansi usai mendapat pendanaan dari BRI Venture Capital.
Penulis: Ekarina
11/12/2020, 15.43 WIB

Perusahaan kedai minuman kekinian, Haus! Indonesia mendapat suntikan modal Rp 30 miliar dari BRI Venture Capital. Perusahaan tersebut berambisi membangun 1.000 gerai beberapa tahun mendatang dengan menggunakan modal tersebut. 

CEO Haus! Indonesia, Gufron Syarief mengatakan, hingga saat ini perusahaan telah mengoperasikan 109 gerai. Jumlah gerai ini ditargetkan bertambah seiring masuknya pendanaan dari BRI Venture Capital.

Dari dana ini, perusahaan berencana meningkatkan penetrasi gerai Haus! hingga ke pelosok Indonesia. Pada 2021-2023, fokus penambahan gerai akan dilakukan di sekitar Jawa dan Bali. Dalam waktu dekat, gerai Haus! akan hadir di Surabaya dan Yogyakarta. 

Lalu pada 2024, ekspansi gerai ditargetkan menjangkau Sumatera dan 2025 di sekitar wilayah Kalimantan serta Sulawesi. Adapun pada 2026, perusahaan membuka kemungkinan ekspansi gerai di luar negeri, khususnya Asia Tenggara. 

"Kalau kami petakan, rata-rata diharapkan bisa 1.000 kedai di Indonesia. Bahkan kami optimistis bisa sampai 3.000 sehingga bisa meluas ke pelosok hingga kabupaten," kata Gufron dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat (11/12). 

Untuk membangun satu gerai, investasi belanja modal (capex) yang dikeluarkan menurutnya bisa mencapai Rp 420 juta. Dana ini dialokasikan untuk keperluan renovasi, membeli peralatan dapur dan  furnitur. Adapun biaya tersebut di luar biaya sewa tempat yang bisa mencapai Rp 100 juta.

Awal Mula Bisnis Haus!

Gufron menceritakan awal mula perjalanan Haus! hingga bisa berkembang seperti sekarang. Fenomena bisnis pesan makanan via ojek online, menjadi awal mula ketertarikan  ia dan ketiga rekannya membangun Haus! pada Juni 2018.

Pada saat itu, produk minuman kekinian masih banyak dijual di mal dengan harga di atas Rp 25 ribu per gelas dengan segmen pembeli menengah atas.

Konsep tersebut akhirnya mereka ubah. Minuman kekinian Haus! mereka tawarkan dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 20.000 per gelas, sehingga bisa dijangkau oleh kalangan menengah bawah, bahkan anak sekolah. Lokasi gerai pun dipilih di titik strategis seperti  dekat perumahan, sekolah atau kampus.

"Awalnya kami target hanya menjual 300-400 cup per hari, tapi sewaktu buka langsung terjual 1.000 cup per hari. Sehingga kami lihat bisnis ini potensial, apalagi segmen B dan C cukup besar," ujarnya. 

Agar bisnis minuman ini bertahan lama, Gufron mengatakan brand ini tidak terasosiasi dengan satu jenis produk tertentu. Sebab, siklus produk di bisnis minuman cepat berubah, sehingga ia ingin produknya terus terupdate dengan tren terkini.  

Sedangkan untuk menghindari agar produknya mudah ditiru, menurutnya Haus! akan dibawa sebagai minuman gaya hidup. Sehingga produk ini tak hanya dijual sebatas komoditas.

"Kami harus meningkatkan value brand dari sekedar minuman ke pop culture, dengan cara masuk community, ke fashion, ke musik. Sehingga Haus! ini dilihat sebagai brand yang trendy, tak hanya bersaing dari harga produk dan rasa," katanya. 

Sedangkan untuk menjaga kualitas produk dna layanannya tetap terjaga, ia pun mengungkapkan hingga saat ini masih konsisten tak menggunakan konsep waralaba.  Sebab, pengalaman konsumen sangat bergantung pada kualitas produk dan layanan. 

"Sehingga kami belum mempercayakan operasional dilakukan pihak lain. Untuk menjaga brand kami, harus dipastikan bahwa operasionalnya harus dilakukan sendiri," katanya.

Dalam mengelola operasional usaha, hal ini menurutnya merupakan tantangan tersendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya standar operasional prosedur (SOP) dan kontrol yang baik dari manajemen.

"Ini mengapa kami masih fokus di Jabodetabek. Daripada pertumbuhan bisnis kami tak seimbang dengan pertumbuhan organisasi. Makanya, kami fokus dan mengombinasikan talent-talent kami," kata Gufron. 

Meski berawal dari usaha mikro kecil mengah (UMKM), dia pun membagikan tips bagaimana usahanya bisa berkembang hingga akhirnya mendapat modal miliaran dari perusahaan modal ventura. 

Menurutnya, UMKM sedari dini harus membiasakan diri tertib administrasi dan tertib finansial. Memisahkan pos keuangan antara rumah tangga dengan bisnis wajib diakukan agar tak mengganggu usaha dan manajemen bisnis bisa berjalan. 

"Makanya ketika saatnya datang, kami dianggap layak menjadi perusahaan yang diberi investasi," ujarnya.

Vice President of Investment & Business Development BRI Ventures, Markus Liman Rahardja mengatakan tren usaha kuliner grab and go semakin membaik.  Hal itu yang menjadi salah satu alasan kemitraan pihaknya bersama pelaku usaha minuman lokal Indonesia, Haus! Indonesia.

Dengan suntikan modal ini, dia berharap dapat ikut mengangkat UMKM Indonesia menjadi lebih berkembang dari sisi skalabilitas maupun kompetensi.

Ketua Bidang UMKM/IKM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ronald Walla sebelumnya mengatakan, ada sejumlah tantangan yang menyebabkan usaha kecil tak mampu bertahan hingga akhirnya tutup. 

Pertama adalah perizinan. Ronald mengatakan izin yang rumit mengakibatkan potensi pungutan liar. Kemudian saat pandemi, ada pihak yang mencari peluang dengan melakukan pungutan liar lantaran pendapatannya menurun.

"Akibatnya, bisnis pengusaha yang naik, kemudian kena pungli, akhirnya mereka harus tutup usaha lagi. Ini perlu secepatnya ditangani," kata Ronald dalam Seminar Publik Daring "Bangun UMKM di Tengah Multikrisis" yang diselenggarakan Katadata.co.id bersama Universitas Prasetiya Mulya, Kamis (15/10).

Masalah utama ini didapatkan Apindo dari pendampingan online UMKM yang dilakukan setiap pekan. Total mereka telah mendapatkan 2.000 sampai 3.000 isu dan keluhan.

"Yang kedua itu adalah pemasaran, sedangkan ketiga adalah pendanaan," kata Ronald.

Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof Djisman Simandjuntak mengatakan beberapa langkah perlu diambil pemerintah demi membangkitkan UMKM.

Pertama menyiapkan institusi keuangan seperti bank yang khusus memberikan pinjaman kepada usaha kecil. Kedua, transfromasi pendidikan tinggi sebagai inkubator UMKM.

Djisman mengatakan 2,5 juta angkatan kerja baru yang hadir perlu diarahkan menjadi pengusaha. "Perlu kebijakan yang kredibel, good governance. Hanya dengan itu UMKM bisa berhadapan dengan usaha besar," kata Djisman.