Perusahaan Minyak dan Retail yang Bangkrut Dihantam Pandemi pada 2020

J.Crew / Katadata.co.id
Perusahaan retail Amerika Serikat J.Crew salah satu yang mengajukan pailit selama pandemi Covid-19.
Penulis: Ekarina
22/12/2020, 12.57 WIB

Sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) tumbang selama pandemi corona. Data S&P Global Market Intelligence mencatat, ada 610 perusahaan mengalami kebangkrutan sejak awal tahun hingga 13 Desember 2020.  Data statistik tersebut merupakan tertinggi sejak 2012. 

Dilansir dari Fortune, aktivitas industri seketika terhenti pada Maret 2020 saat Covid-19 mewabah di Amerika Serikat. Pertokoan yang tutup selama berminggu-minggu, perusahaan energi menghadapi penurunan besar permintaan, sedangkan perusahaan perawatan kesehatan menghadapi pergeseran penanganan Covid-19. 

Alhasil, beberapa sektor terdampak ketika pandemi turut menyebabkan negara menghadapi resesi. Daftar perusahaan yang mengalami kebangkrutan 2020,  di antaranya peretail J.C. Penney hingga J.Crew, raksasa persewaan mobil Hertz, operator mal CBL & Associates Properties.

Gelombang kebangkrutan secara signifikan menyerang bisnis department store, perusahaan pakaian, dan pengecer lain yang menjual produk kebutuhan non-pokok. Konsumen lebih tertarik pada gerai besar yang mampu memenuhi kebutuhan berbelanja dalam satu atap, dan mereka berfokus pada hal-hal seperti makanan dan perbaikan rumah.

Sekitar 20% dari perusahaan yang mengajukan bangkrut dilakukan oleh pengecer produk non-primer, menurut S & P. Bahkan ketika vaksin mulai diluncurkan di  AS, 2021 masih dianggap menjadi tahun sulit bagi perusahaan Negeri Paman Sam. 

Lembaga pemeringkat terus mengawasi perusahaan yang  terdampak untuk melihat bagaimana perkembangan bisnis mereka di 2021. Di sektpr retail, bisnis seperti Toko Jo-Ann, Rite-Aid, Party City, dan Belk; di sektor restoran ada  Potbelly dan Noodles & Co masuk dalam daftar pantauan. 

"Anda akan melihat beberapa pemain yang lebih lemah jatuh," kata Vice President Moodys, Mickey Chadha kepada Fortune, dikutip Selasa (22/12).

Berikut adalah beberapa perusahaan AS yang mengajukan pailit sepajang 2020 dari berbagai industri, berdasarkan petisi pengajuan proteksi kebangkrutan chapter 11 US Bankcruptcy Code: 

1. Frontier Communications (Beban Utang US$ 17,1 miliar):

Penyedia layanan telepon dan Internet tersendat di bawah beban utang yang sangat besar dan investasi dalam infrastruktur fiber optic yang terlambat. Frontier telah mengajukan perlindungan pailit chapter 11 pada April lalu sebagai bagian dari perjanjian restrukturisasi untuk memotong utangnya lebih dari US$ 10 miliar atau Rp 142 triliun. 

2. Neiman Marcus (Utang US$ 5,3 miliar):

Departement store brand mewah  ternama ini tak mampu bertahan ketika omzet gerainya terus menurun dan merek kelas atas semakin agresif dalam menjual barang melalui toko dan situs milik sendiri.

Perusahaan telah mengajukan perlindungan kebangkrutan tetapi tetap menghadapi tekanan bisnis retail yang semakin menantang. 

3. Diamond Offshore Drilling (Utang US$ 6,3 miliar):

Perusahaan minyak AS suah mencatat kerugian sebelum pandemi. Namun, Covid-19 dan rekor penurunan harga minyak mentah akibat gejolak perekonomian global menekan permintaan eksplorasi minyak, menyebabkan kerugian perusahaan semakin bertambah hingga akhirnya pailit.

4. Tailored Brands (Utang US $ 1,5 miliar):

Perusahaan brand retail fesyen, Tailored Brands ikut terimbas akibat jutaan pekerja pria harus bekerja dari rumah selama pandemi. Perusahaan pemasok brand pakaian Men's Wearhouse, masih berjuang meningkatkan pendapatan setelah mengakuisisi brand Jos. A. Bank pada 2014.

5. The McClatchy Co. (Utang US$ 1,5 miliar):

Perusahaan surat kabar ini berupaya mempertahankan bisnisnya seiring dengan penurunan jumlah pelangganan cetak selama bertahun-tahun. Kondisi keuangan yang semakin menipis menyebabkan perusahaan mengajukan bangkrut pada Februari 2020, mengikuti jejak pendahulunya peneribit besar AS, Tribune Co.

6. CBL & Associates Properties (Utang lebih dari US$ 1 miliar):

Perusahaan properti dan operator mal ini telah bergulat dengan penurunan penunjung pusat perbelanjaan selama beberapa waktu terakhir. Pandemi Covid-19 semakin mendorong perusahaan ke tepi bisnis.

Ilustrasi gerai Marks & Spencer. Peretail asal Inggris ini berencana melakukan PHK terhadap 7.000 karyawannya untuk menekan kerugiannya selama pandemi (Marks & Spencer / Youtube)

7. 24 Hour Fitness Worldwide (Utang lebih dari US$ 1 miliar):

Gym adalah salah satu sektpr usaha pertama yang ditutup selama lockdown dan yang terakhir kali diizinkan untuk dibuka kembali. Penutupan tersebut memberikan tekanan besar terhadap keuangan perusahaan gym 24 Hour Fitness.

8. Hertz (Utang lebih dari US$ 1 miliar):

Perusahan rental mobil Hertz Global Holding Inc. mengajukan pailit lantaran pandemi menyebabkan banyak perjalanan bisnis terhenti dan mempengaruhi usaha sektor ini. Selain itu, gagalnya restrukturisasi kredit turut mempercepat perusahaan ini pailit.  

9. Quorum Health (Utang lebih dari US$ 1 miliar):

Quorum Health Corp. perusahaan pemilik 24 rumah sakit di 14 negara bagian, terbelit banyak utang dan kian menumpuk akibat pandemi Covid-19.

Sebelum virus corona melanda, rumah sakit bahkan telah kehilangan prosedur elektif yang menguntungkan untuk fasilitas rawat jalan sambil tetap menangani pasien yang tidak memiliki asuransi. 

10. J.C. Penney, J.Crew, Ascena Retail (Ann Taylor), Stage Stores, dan Stein Mart: 

Deretan peretail ini telah goyah jauh sebelum adanya Covid-19. J.C Penney tekah menyatakan bankrut pada Juni lalu dan menutup 154 gerainya. J-Crew dinyatakan bangkrut lebih awal, atau pada Mei lalu lantaran terbebani banyak utang dan kehilangan banyak pelanggan selama pandemi.

Stage Stores pun demikian. Perusahaan mengajukana pailit pada Mei 2020 akibat tumpukan utang. Perusahan mengajukan perkara pailit di Houston, Texas dengan aset terakhir sebesar US$ 500 juta, dan liabilitas US$ 1 miliar.

Sedangkan Stein Mart mengajukan pailit setelah 12 tahun beroperasi. Sebanyak 28 gerai ditutup lantaran kesulitan keuangan yang dialami perusahaan. 

Tak hanya di Amerika, pandemi corona juga memukul perusahaan di Indonesia. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 66,09% perusahaan di Indonesia masih mengalami penurunan pendapatan sepanjang kuartal III/2020. Pengurangan pendapatan terjadi karena sejumlah perusahaan tersebut masih terdampak pandemi virus corona Covid-19.

Sebanyak 23,48% perusahaan menyatakan pendapatannya tetap pada kuartal III/2020. Sementara, ada 10,43% perusahaan yang mengaku pendapatannya meningkat sejak Juli-September 2020.

Meski masih besar, jumlah perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan berkurang jika dibandingkan hasil survei serupa periode Juli 2020. Ketika itu, BPS mencatat jumlah perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi corona mencapai 82,85%.

Adapun, survei BPS bertajuk "Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha Jilid 2" diselenggarakan pada 12 hingga 23 Oktober 2020. Survei ini melibatkan 35.992 responden melalui daring. Cakupan survei ini semua lapangan usaha, kecuali pemerintahan, aktivitas rumah tangga pemberi kerja, dan badan internasional.