Perusahaan tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mengekspor delapan kontainer seragam militer ke Filipina. Ekspansi pasar ini terjadi di tengah lesunya permintaan bisnis di tengah pandemi Covid-19.
Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan mengatakan, ekspor seragam militer ke Filipina merupakan yang perdana. "Semua seragam militer yang kami produksi telah sesuai dengan standar North Atlantic Treaty Organization (NATO), sehingga konsumen puas dengan kualitasnya," kata Iwan dalam Jakarta Chief Marketing Officer (CMO) Club, Senin (14/12).
Seragam ini memiliki beberapa fitur lonising radiation regulation protection atau antiradiasi, antinyamuk, antiair dan minyak, anti-bakteri dan bau, serta anti-api.
Dengan adanya tambahan pesanan ini, dia berharap bisa terus menjaga tren usaha produksi seragam militer dan bekerja sama dengan divisi pertahanan dunia lain.
Sritex pertama kali memproduksi seragam pada 1992 untuk seragam ABRI dan kepolisian. Lalu pada 1994, perusahaan mendapat permintaan memasok seragam militer Jerman.
Sejak saat itu, permintaan seragam datang dari luar negeri. Sritex juga mengekspor seragam militer ke Swedia, Kroasia, Portugal, dan negara-negara lainnya.
Iwan mengatakan, produk tekstil Indonesia sudah sejak lama memiliki pesaing kuat di tingkat regional Asia Tenggara, dan di Asia, salah satunya Tiongkok.
“Sebetulnya saat ini kita par (setara) dari sisi biaya produksi. Cost disana mahal, di sini juga sama. Jadi masih bisa bersaing. Kuncinya adalah bagaimana menambah produksi di dalam negeri ini lebih bervariasi lagi,” ujarnya dalam webinar CNBC, Senin (14/12).
Dengan menambah variasi produk tekstil dan juga menambah jumlah produsennya, biaya logistik akan menjadi lebih efisien. Ini dikarenakan pembeli (importir) produk tekstil dari negara lain bisa membeli beragam jenis produk tekstil di Indonesia sehingga dengan sendirinya menurunkan biaya logistik.
“Pembeli dari luar negeri bisa membeli disini. Semuanya ada. Ini angan-angan saya bagaimana kita bisa mempunyai varian kain tekstil yang banyak di Indonesia. Seperti kebaya, itu banyak impornya, kenapa tidak dibuat di Indonesia?” ujarnya.
Oleh karena itu investasi di dalam negeri harus digenjot untuk sektor-sektor yang berorientasi ekspor, namun dengan tetap memaksimalkan potensi pasar dalam negeri yang masih sangat besar dan belum tergarap sepenuhnya.
“Ini harus menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendorong investasi di dalam negeri untuk tujuan ekspor nantinya,” ujarnya.
Tantangan Bisnis di Tengah Pandemi
Pandemi corona di awal tahun ikut mempengaruhi bisnis perusahaan. Ancaman penurunan penjualan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) membayangi hampir seluruh industri, termasuk perusahaan.
Namun, perusahaan melihat beberapa peluang bertumbuh di tengah krisis kesehatan. Salah satunya kebutuhan pemenuhan alat pelindung diri (APD) dan masker kesehatan.
Oleh sebab itu, perusahaan mulai mengalihkan produksi pakaian ke masker. Mulanya, pemasaran masker hanya dilakukan melalui lima grup whatsapp group. Namun, pesanan melonjak.
"Tiga minggu sejak awal Covid-19 atau pada Maret lalu, 45 juta masker berhasil didistribusikan," katanya.
Lalu pada Mei, Sritex mulai memproduksi APD sesuai standar WHO dan gencar mempromosikan produknya melalui channel digital.
"Pandemi mau tidak mau membuat kami beradaptasi dan belajar soal digital. Sekarang dengan inovasi ini, distribusi produk pakaian jadi langsung ke konsumen, kami punya situs penjualan bernama Tokosritex.com," ujarnya.
Hingga kuartal III 2020, Sritex membukukan penjualan US$ 895,07 juta naik 1,13% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Perusahaan tekstil lainnya, PT Pan Brothers Tbk (PBRX) mendapat tambahan pesanan produksi pakaian dari lima brand global baru pada 2021. Ekspansi ini diharapkan berdampak terhadap peningkatan kinerja perusahaan tahun depan.
Wakil Presiden Direktur Pan Brothers, Anne Patricia Susanto mengatakan, tambahan order merek baru ini sebagian akan mulai direalisasikan pada triwulan I 2021.
"Tahun ini kita ada dua brand masuk Lululemon dan Foreten. Tahun depan akan ada empat sampai lima tambahan brand baru. Nanti kalau sudah delivery, akan kami umumkan namanya," kata Anne dalam paparan publik virtual, Rabu (3/12).
Proses penjajakan atau feasibility study menurutnya sudah dilakukan sejak tahun lalu, termasuk proses uji coba. Saat ini, divisi garmen perseroan sudah memproduksi pakaian dari berbagai brand ternama dunia, seperti Uniqlo, Adidas, The North Face, Prada, IKEA, Lacoste, Ralph Lauren dan sebagainya.
Garmen atau pakaian produksi Pan Brothers sudah diekspor ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Australia, Asia (Tiongkok, Singapura dan Jepang).
Pada tahun depan, dia memperkirakan penjualan perseroan naik 10-15% dari tahun ini. Hingga kuartal III 2020, Pan Brothers mencatat penjualan US$ 523 juta, turun dibanding periode yang sama tahun lalu US$ 665 juta. Kontribusi penjualan datang dari pasar dalam dan luar negeri, terlebih ada beberapa buyer eksisting dan buyer baru menambah pesanan pakaian di pabrik perusahaan.
Alhasil, pada 2021, Pan Brothers akan menambah kapasitas produksi pabrik garmennya dari yang semula 117 juta potong per tahun menjadi 130 juta potong per tahun.
Namun, untuk produksi alat pelindung diri (APD) serta masker tahun depan, menurutnya jumlahnya akan berkurang. Ini dikarenakan, jumlah APD tahun ini lebih besar karena tahun ini Indonesia baru memulai tahun pandemi, sehingga kebutuhan APD sangat tinggi.
Sedangkan tahun depan, dengan rencana pemerintah mendistribusikan vaksin, diperkirakan kebutuhannya lebih rendah. "Dalam growth plan, APD dan Masker di tahun depan mungkin hanya 30-40% dari kapasitas," katanya.
Industri tekstil merupakan salah satu dari lima sektor yang mengalami penurunan aktivitas selama pandemi corona. Menurut data Bank Indonesia (BI), sektor tekstil-barang kulit-alas kaki memiliki nilai Indeks Manufaktur (Prompt Manufacturing Index/PMI) sebesar 47,2%.
PMI adalah indikator yang menggambarkan situasi industri pengolahan saat ini dan prediksi pada periode selanjutnya. Ambang batas PMI sebesar 50%, di atas angka tersebut maka sektor berekspansi. Sebaliknya, berada di bawah 50% berarti sektor mengalami kontraksi.