Jagat maya heboh dengan surat teguran yang dikirimkan PT Eigerindo Multi Produk Industri kepada seorang pemilik kanal YouTube duniadian. Pengamat pemasaran dan Managing Partner Inventure, Yuswohady, menilai teguran Eiger ini menunjukan public relation (PR) yang buruk.
“Eiger kurang matang dalam merespons konsumen. Ini bad PR banget, konsumen itu kan membuat video ulasan tidak dibayar oleh Eiger,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (29/1).
Peristiwa ini bermula dari Dian Widiyanarko membuat video ulasan produk Eiger yakni kacamata Kerato, yang ia beli dengan harga Rp 425 ribu. Pemilik kanal YouTube tersebut memberi judul: "REVIEW Kacamata EIGER Kerato l Cocok Jadi Kacamata Sepeda”.
Dian memberikan ulasan yang positif tentang kacamata tersebut. Selain kaca mata, Dian juga sudah sejak lama mengoleksi produk Eiger, mulai dari sepatu, baju, hingga sandal. Sehingga dia merasa terkejut mendapatkan surat teguran dari Eiger.
Melalui surat yang ditandatangani HCGA & Legal General Manager PT Eigerindo Multi Produk Industri, Hendra Lim, tertanggal 23 Desember 2020, Eiger keberatan atas kualitas video yang diunggah Dian.
“Kualitas video kurang bagus dari segi pengambilan video yang dapat menyebabkan produk kami terlihat berbeda baik dari segi warna, bahan, dan detail aksesoris yang menjadi terlihat kurang jelas,” tulis Hendra.
Hendra juga meminta Dian memperbaiki dan/atau menghapus video tersebut. Dian yang keberatan menghapus video tersebut, melampirkan surat teguran Eiger di akun media sosial miliknya dan kemudian viral.
Setelah viral di media sosial, Chief Executive Officer Eiger, Ronny Lukito meminta maaf atas masalah tersebut. “Kami sadari apa yang kami lakukan tidak tepat dan salah,” tulis dia.
Menurut Ronny maksud dari surat keberatan tersebut adalah untuk memberikan masukan kepada reviewer agar lebih baik lagi. “Tetapi sekali lagi, kami menyadari bahwa cara penyampaian kami salah,” kata dia menambahkan.
Ronny menutup surat tersebut dengan mengucapkan terima kasih kepada konsumen yang telah membuat konten yang berhubungan dengan produk Eiger.
Tidak hanya Dian yang pernah mendapatkan surat teguran dari Eiger. Sebelumnya kanal YouTube BorisNT juga mendapat surat keberatan yang sama atau video ulasan produk Eiger. Bedanya, Boris bersedia menghapus videonya.
Yuswohady menilai langkah CEO Eiger Ronny Lukito meminta maaf, sudah tepat. Dia yakin peristiwa ini tidak akan terlalu melukai brand image Eiger dalam jangka panjang. Langkah Eiger yang tak sengaja ini kemungkinan akan hilang dengan sendirinya dalam waktu dekat seiring menghilangnya pemberitaan dan percakapan mengenai itu.
“Kecuali Eiger mengulangi langkah yang sama secara terus menerus dengan sistematis sehingga memunculkan persepsi perangainya Eiger ini tidak benar. Ini baru akan melukai reputasi. Minggu depan saja orang sudah melupakan masalah ini,” kata Yuswohady.
Langkah Brand Memperbaiki Image
Menurut Yuswohady, semua brand, tidak hanya Eiger, harus lebih peka dengan horizontal marketing dengan bantuan media sosial. Karena dulu di masa vertical marketing, konsumen hanya bisa komplain atau mengkritik produk atau jasa melalui surat pembaca.
“Pertama, brand tidak boleh marah ketika konsumen mengulas produknya tidak bagus. Tentu ini beda me-review secara objektif atau karena dibayar kompetitor atau ingin mendiskreditkan brand tertentu,” ujar dia.
Bila konsumen membuat ulasan secara tulus, dan memiliki kompetensi terkait produk tersebut, jika ulasannya bernada mengkritik, maka brand harus berbesar hati untuk melihat kritik tersebut sebagai masukan.
Karena brand tidak akan bisa melawan persepsi publik atau konsumen, sehingga sebisa mungkin brand harus menghindari konflik dengan konsumen.
Kedua, baiknya brand melakukan pendekatan dengan konsumen yang bermasalah secara personal, via telepon atau bertemu langsung, jangan menggunakan sesuatu yang bisa dibagikan kepada publik seperti surat elektronik (surel) yang dapat berujung viral.
Menurut dia, ini bertujuan untuk cooling down dan melokalisir konflik sehingga masalah tidak semakin meluas. “Karena kalau sudah masuk ke ranah publik itu akan liar, apalagi YouTubernya mencari simpati dan dukungan dari teman-teman dan netizen,” ujarnya.
Ketiga, brand harus membangun dan membina hubungan dengan para konsumen, influencer, YouTuber atau vlogger yang membuat ulasan terhadap produk buatannya. Sehingga ketika sudah terbentuk hubungan baik, konsumen akan segan untuk memberi komen negatif.
"Tapi karena tidak pernah dibangun dan dibina, jadi mau ngejelek-jelekin Eiger dia tidak akan merasa rugi. Ini harus dilakukan secara kontinyu, ada maupun tidak ada kasus. Harapannya, dengan adanya komunitas, suara-suara miring dapat diredam atau dinetralisir dengan dasar hubungan baik dan kedekatan,” kata Yuswohady.