Nestle dan Unilever Berlomba Kurangi Kemasan dari Plastik

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi Logo Unilever. Dua brand produk konsumsi, Unilever dan Nestle berlomba-lomba berkomitmen mendukung program kelestarian lingkungan.
Penulis: Ekarina
8/9/2020, 15.00 WIB

Perusahaan produk konsumsi global (consumer goods) berlomba-lomba menyatakan komitmennya menjaga lingkungan berkelanjutan. Dua perusahaan skala dunia yakni Nestle dan Unilever mulai mengurangi kemasan yang terbuat dari plastik.

Nestle secara bertahap meningkatkan  kemasan daur ulangnya menjadi 87% untuk mengurangi sampah plastik.  Pada 2025, Nestle menargetkan bisa menggunakan kemasan daur ulang hingga 100%. Perusahaan asal Swiss ini telah berinvestasi 2 miliar franc swiss atau setara US$ 21,9 miliar untuk mendukung inovasi produk dalam mengurangi sampah plastik.

“Kemasan memainkan peran penting dalam menjaga integritas dan keamanan pangan. Pada saat yang sama, polusi plastik terus menjadi masalah utama di seluruh dunia, ” kata Kepala Operasi Magdi Batato dalam media briefing dikutip dari Reuters, Selasa (8/9). 

Perusahaan mengatakan baru-baru ini meluncurkan sistem isi ulang untuk makanan hewan di Chili. Sehingga konsumen tak memerlukan menggunakan kemasan tambahan.

Sampah plastik yang disebabkan oleh wadah makanan untuk dibawa pulang dan kemasan pengiriman online telah meningkat selama pandemi Covid-19. Peningkatan ini sejalan dengan makin banyaknya konsumen yang memesan makanan secara online. 

Nestle pun memiliki target mengurangi kemasan dan menggantinya dengan bahan yang lebih ramah lingkungan. 

Salah satunya pada produk coklat batangan KitKat yang menggunakan kemasan kertas. Perusahaan menyatakan penelitinya tengah mengembangkan jenis kertas baru yang dapat didaur ulang untuk membungkus kubus kaldu ayam Maggi. Produk tersebut akan segera diluncurkan di Prancis.

Namun, demkian dia mengakui sulit merapkan kemasan kertas sebagai sebagai produk kemasan karena tidak memiliki ukuran yang dapat digunakan untuk semua untuk semua produk. Sehingga penggunaan plastik akan sulit hilang. “Plastik akan tetap menjadi komponen kemasan,” ujarnya.

Target Emisi Karbon

Produsen lain, Unilever juga berkomitmen menggantikan 100% karbon dari bahan bakar fosil dengan karbon daur ulang pada formulasi produk pembersih dan detergen pada 2030. Target ini sejalan dengan upaya perseroan menciptakan 'Masa Depan yang Bersih dan Lestari’ atau disebut Clean Future.

Sejumlah merek-merek global yang akan ikut tergabung dalam inisiatif ini di antaranya Molto, Rinso, Sahaja, Sunlight, Wipol, Superpell, dan Vixal secara bertahap. Dengan demikian, perusahaan juga menargetkan menghasilkan net zero emisions atau produk yang bersih dari emisi pada 2039.

Pasalnya, divisi produk perawatan rumah, bahan kimia yang digunakan dalam produk pembersih dan detergen menyumbang jejak karbon terbesar. Dengan beralih ke sumber bahan terbarukan atau bahan yang bisa didaur ulang, akan membuka cara-cara baru untuk mengurangi jejak karbon.

"Sebagai sebuah industri, kami harus menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil, termasuk sebagai bahan mentah pada produk kami. Kami harus berhenti memompa karbon dari bawah tanah ketika ada banyak karbon di atas tanah untuk dimanfaatkan dalam jumlah besar," kata Presiden of Home Care Unilever, Peter ter Kulve dalam keterangannya.

Beberapa brand dari Home Care Unilever Indonesia telah mulai menjalankan inisiatif untuk menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah penggunaan 100% plastik hasil daur ulang untuk botol Rinso, Molto, Wipol dan Sunlight.

Serangkaian produk pengharum pakaian Sahaja juga diklaim memiliki surfaktan dan parfum yang dapat terurai di lingkungan.

Kesadaran masyarakat di Indonesia untuk mendaur ulang sampah tergolong rendah. Berdasarkan Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 1,2% rumah tangga yang mendaur ulang sampahnya.

Sekitar 66,8% rumah tangga menangani sampah dengan cara dibakar. Padahal, asap yang ditimbulkan dari hasil pembakaran bisa menimbulkan polusi udara dan mengganggu kesehatan. Sebanyak 32% rumah tangga memilih cara lain untuk menangani sampah.

Kesadaran masyarakat di Indonesia untuk mendaur ulang sampah tergolong rendah. Berdasarkan Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 1,2% rumah tangga yang mendaur ulang sampahnya.

Sekitar 66,8% rumah tangga menangani sampah dengan cara dibakar. Padahal, asap yang ditimbulkan dari hasil pembakaran bisa menimbulkan polusi udara dan mengganggu kesehatan. Sebanyak 32% rumah tangga memilih cara lain untuk menangani sampah.