Burger King membuat sebuah pengumuman mengajak pelanggannya membeli menu makanan dari restoran pesaing seperti McDonalds, KFC, Wendys atau Pizza Hut yang tengah sulit berjualan selama pandemi. Kampanye ini pun menarik simpati warganet dan dalam waktu singkat viral di media sosial.
Dilansir dari akun Instagram @burgerking.id, admin perusahaan memposting sebuah pengumuman berjudul "Pesanlah dari Mcdonalds". Dalam pesannya, Burger King menyebut mereka tak pernah terpikir sebelumnya untuk menganjurkan pelanggannya untuk memesan dari Flip Burger, KFC, Dominos, Pizza Hut, Bakso Boedjangan, Warteg atau gerai makanan independen lainnya.
Burger King menyebut perusahaan-perusahaan restoran tersebut yang mempekerjakan ribuan karyawan membutuhkan pertolongan. Mereka mengalami masalah minimnya penjualan akibat pandemi corona dan orang enggan makan di luar rumah.
"Jika ingi membantu, tetap manjakan diri Anda dengan makanan lezat melalui pesan antar, take away atau drive-thru. Menikmati Whooper pilihan terbaik, tapi memesan Big Mac juga tidak ada salahnya," tulis Burger King dalam pengumumannya.
Hingga Rabu (4/11) siang, unggahan ini sudah disukai 164.154 pengguna Instagram dan dibanjiri 6.603 komentar.
Tak sekedar ujaran simpatik, ujaran ini juga berdampak lain bagi Burger King. Pengajar Brand dari Universitas Multimedia Nasional (UMN), Trihadi Purdiawan Erhan mengatakan, bila dipandang dari kacamata awam, apa yang dilakukan oleh Burger King tampak kontra produktif karena secara suka rela mempromosikan merek pesaing.
Namun, terlepas dari tulus atau tidaknya niat dari Burger King untuk melakukan endorsement terhadap merek pesaingnya, strategi komunkasi ini mampu menarik banyak simpati publik yang menghasilkan exposure cukup besar terhadap perusahaan.
Apalagi pengguna medsos secara suka rela membagikan postingan tersebut yang secara langsung akan meningkatkan kesadaran merek (brand awareness) Burger King. "Selain itu Burger King juga akan mendapatkan citra yang postif dar i kampanye tersebut," kata Trihadi kepada katadata.co.id, Rabu (4/11).
Memang, hal ini tidak serta merta mendorong penjualan Burger King, tetapi yang pasti konsumen mulai terekspose dengan informasi Burger King akan memasukkan merek tersebut sebagai salah satu pertimbangan sebelum membelii.
"Branding pada dasarnya bersifat investasi untuk membangun citra dan pengetahuan dari konsumen terhadap sebuah merek, kebanyakan tidak akan berdampak secara langsung kepada perusahaan dalam bentuk penjualan," ujarnya.
Iklan 'Nyeleneh'
Burger King tak hanya sekali ini saja membuat iklan atau kampanye yang menarik perhatian publik. Sebelumnya, perusahaan pernah membuat sebuah iklan yang memajang gambar Whooper burger mulai membusuk dan berjamur.
Iklan yang tampak menijijikan ini rupanya memiliki makna. Perusahaan ingin menyampaikan pesan produknya dibuat dengan produk segar, tanpa pengawet, pewarna buatan terutama di pasar Eropa dan Amerika Serikat (AS). Secara tak langsung, iklan ini juga dinilai bertujuan membandingkan kesegaran produk perusahaan dengan kompetitor tapi dengan visual yang tak biasa.
"Praktek kampanye ini lumrah digunakan oleh berbagai macam produk. Blind testing misalnya adalah salah satu contoh yang dalam beberapa aspek serupa dengan kampanye tersebut," kata Trihadi.
Membandingkan keunggulan produk dibandingkan dengan kompetitor adalah hal yang sah selama tidak melanggar etika, tidak mengandung kebohongan, dan juga tidak dengan tujuan untuk mengelabui konsumen.
"Karena dengan ini konsumen akan mendapatkan pertimbangan logis dalam menentukan pilihannya dikemudian hari," ujarnya.
Seperti diketahui, industri hotel, restoran dan kafe terpukul cukup parah selama pandemi corona. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) daerah turut membatasi ruang gerak dan operasional perusahaan restoran. Salah atu larangan selam PSBB adalah makan di tempat.
Padahal, bagi pengusaha restoran 95% transaksi pembelian konsumen berasal dari pembelian makan di tempat dan 5% dari sistem take-away atau delivery.
Saat ini, diperkirakan ada sekitar 4.000 restoran di mal dengan perkiraan jumlah tenaga kerja lepas mencapai 200 ribu orang. Angka ini tidak termasuk restoran atau cafe yang beroperasi di luar mal, maupun bisnis catering.
Di tengah ketidakpastian saat ini, banyak pelaku usaha wait and see. Dia memperkirakan, jika hingga Desember perekonomian dan daya beli tak kunjung bergeliat, sekitar 30%-40% pengusaha restoran, khususnya di mal akan menutup permanen usahanya.
"Ini yang kami khawatirkan. Sebab, dari 50% pengusaha yang beroperasi saat ini sudah tidak lagi mengejar keuntungan, bisa survive saja sudah bagus," kata Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin kepada katadata.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa menyediakan solusi dan setidaknya mendukung dengan kebijakan yang tidak lagi memberatkan pelaku usaha. PHRI mengusulkan pemerintah segera memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja yang terdampak. Pihaknya siap membantu menyediakan data karyawan perusahaan yang terimbas.