Empat Alasan Indonesia Menarik untuk Bisnis E-Commerce

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Pekerja memilah paket barang di gudang logistik TIKI di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
1/11/2018, 20.02 WIB

Dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta, Indonesia merupakan pasar yang besar, termasuk bagi e-commerce. Selain jumlah penduduk, ada empat hal yang membuat Indonesia menjadi pasar menarik untuk menjajakan barang secara online.

Pertama, Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan, konsumsi masyarakat Indonesia rata-rata naik 5,4% per tahun. Alhasil, konsumsi rumah tangga Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1,3 triliun atau Rp 19.500 triliun pada 2030 nanti.

"Penjualan retail naik rerata 10% per tahun hingga 2022," ujar Chief Economist and Asia Managing Director EIU Simon Baptist saat konferensi pers kampanye 11.11 Lazada di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (1/11).

Kedua, pendapatan masyarakat kelas menengah Indonesia diperkirakan naik dari US$ 7.210 atau Rp 108,2 juta per tahun pada 2017 menjadi US$  19 ribu atau Rp 285 juta pada 2030. Selain DKI Jakarta, pendapatan penduduk di tiga kota lainnya yakni Bandung, Surabaya, dan Medan merupakan yang terbesar di Indonesia pada 2030 nanti. "Porsi masyarakat berpendapatan lebih dari US$ 10 ribu akan meningkat dari 20% saat ini menjadi 72% pada 2030," ujarnya.

(Baca juga:  Pesta Diskon 11.11, Lazada Targetkan Transaksi Lebihi Rp 1,6 Triliun)

Yang menarik, Indonesia menyumbang setengah dari konsumsi masyarakat ASEAN yang diperkirakan mencapai US$ 2,6 triliun atau Rp 39 ribu triliun pada 2030. Saat itu, Asean bakal memiliki 138 juta penduduk kelas menengah ke atas. "Di Indonesia, ada 51 juta lebih penduduk kelas menengah ke atas pada 2030," kata dia.

Ketiga, setengah dari penduduk Indonesia terpapar internet. Namun hanya 40% masyarakat Indonesia yang memiliki akun perbankan (bankable). Ini menjadi peluang bagi e-commerce untuk menyediakan layanan bayar di tempat (cash on delivery/COD). Secara bertahap, kondisi ini juga menjadi peluang bagi e-commerce menyediakan sistem pembayaran dengan model offline to online (O2O). 


Beberapa financial technology (fintech) sistem pembayaran seperti PT Visionert Internasional (OVO) mulai menggandeng Tokopedia untuk menyediakan pilihan pembayaran. Sementara, masyarakat bisa mengisi ulang (top up) secara tunai lewat mitranya, yakni Grab. Begitu pun aplikasi mobile financial services dari Telkomsel, TCash juga mulai menggandeng e-commerce.

Keempat, suplai produk untuk dijual di e-commerce cukup besar. Apalagi, Indonesia memiliki 60 juta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hanya, perlu dukungan dari pemerintah agar UMKM mau memanfaatkan teknologi guna meningkatkan produktivitas dan penjualan. "Hanya 10% UMKM uang memakai teknologi dan 15% yang memiliki channel online di Indonesia," katanya.

(Baca juga:  OVO Resmi Jadi Penyedia Uang Elektronik Tokopedia)

Meski demikian, ia juga mencatat ada dua tantangan bagi e-commeece untuk tumbuh di Indonesia yakni mahalnya biaya internet dan minimnya kesadaran masyarakat. Untungnya, pemerintah sudah membangun satelit Palapa Ring yang diharapkan bisa mempermurah biaya internet.

Namun, kesadaran masyarakat Indonesia atas keamanan dan kerahasiaan data pribadi masih di bawah rata-rata internasional. "Kami perkirakan lima tahun ke depan kesadaran masyarakat Indonesia atas kedua isu itu akan mengikuti rata-rata global," ujar Simon.

CEO Lazada Indonesia Alessandro Piscini mengakui, Indonesia adalah pasar yang besar. Hanya, ia melihat ada tantangan dari sisi logistik mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. Untuk itu, Lazada membangun layanan penyimpanan (fullfillment services) di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membantu para penjual mengirim produk lebih cepat kepada pelanggan.

Reporter: Desy Setyowati