Ekonomi digital diproyeksi menyumbang US$ 155 miliar atau 9,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025. World Market Monitor menyebut, sumbangan ini terdiri dari peningkatan lapangan kerja senilai US$ 35 miliar atau 2,1% PDB dan mendorong produktivitas US$ 120 miliar atau 7,4% PDB.
Hanya, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Raden Pardede melihat ini sebagi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Alasannya, karena Indonesia masih menghadapi minimnya talenta yang mumpuni di bidang digital. “Harus ada mitigasi dalam hal inequality,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) di Gedung Olveh, Jakarta, Senin (17/9) sore.
Menurut data World Market Monitor, ekonomi digital bisa menciptakan 3,7 juta lapangan kerja hingga 2025. Hanya, selama proses tersebut ada pekerjaan yang hilang atau tergantikan. “Pekerjaan yang (sifatnya) berulang-ulang atau rutin itu pasti tergantikan,” kata Raden. Untuk itu, perlu ada upaya menigkatkan kemampuan masyarakat di bidang ekonomi digital.
Kabar baiknya, kehadiran e-commerce menyumbang 30% peningkatan konsumsi di Indonesia pada 2017. Alhasil, e-commerce diproyeksi menyumbang pendapatan di sektor retail sebesar US$ 20 miliar atau setara2-3% PDB pada 2022. “Pendapatan ini setara PDB Bali pada 2018,” kata dia. Setidaknya, ada 1,6 juta paket e-commerce yang terkirim pada 2022.
Hanya, e-commerce seringkali dianggap sebagai biang kerok tingginya impor di Tanah Air. Menurut dia, membatasi impor adalah langkah yang salah. Yang harus dilakukan pemerintah justru meningkatkan ekspornya. “Indonesia memproteksi diri dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan tarif, ini tindakan defensif. Filosofinya menutup diri, bukan memperbaiki diri (dengan mendorong ekspor),” ujarnya.
(Baca juga: Pemerintah Bidik Dana Infrastruktur & Digital di Forum IMF-Bank Dunia)
Ia memandang, langkah terbaik menghadapi era digital adalah mendorong produktivitas. Caranya, bisa dengan mendorong produktivitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ataupun manufaktur. Kemudian, memasarkan produknya lewat e-commerce. “Tinggal bagaimana currency lost-nya diatasi. Itu bisa (mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah),” katanya.
CEO Tokopedia William Tanuwijaya pun sependapat. Ia mengatakan, kondisi Indonesia berbeda dengan Tiongkok. Produktivitas manufaktur dan UMKM di negeri tirai bambu sangat baik. “Sementara Indonesia masih berbasis UMKM. Apakah Indonesia siap?” kata dia.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Lis Lestari Sutjiati mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan beberapa langkah untuk meningkatkan produktivitas UMKM. Misalnya, mempermudah pembiayaan lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan mendorong UMKM berjualan secara online.
Selain itu, pemerintah mendorong terciptanya lebih banyak unicorn. Saat ini, ada empat startup Indonesia yang bervaluasi lebih dari US$ 1 miliar atau unicorn yakni Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, dan Traveloka. “Unicorn akan memberikan suplai chain yang banya, sehingga akan ada bisnis lain (yang berkembang),” ujar dia.
(Baca: Amazon Jajaki Ekspansi ke Indonesia)
Selain e-commerce, disrupsi teknologi yang turut menyumbang PDB Indonesia adalah komputasi awan (cloud computing), internet of things (IoT), dan big data. Berdasarkan data World Cellular Information Service (WCIS), pendapatan vendor dari cloud computing di Indonesia naik dari US$ 209 juta di 2014 menjadi US$ 364 juta pada 2015.
Sementara penggunaan layanan IoT naik dari 32 juta unit menjadi 39 juta unit pada 2015. Kemudian, penggunaan big data meningkat dari 277 petabyte menjadi 448 petabyte per bulan pada 2015. Selain itu, pendapatan dari penggunaan internet naik dari US$ 56 juta menjadi US$ 67 juta di 2015.
Korelasi antara pertumbuhan PDB dengan kenaikan 10% poin penetrasi internet
Studi | Negara/Wilayah | Tahun | Korelasi terhadap PDB |
Koustrompis (2009) | 22 negara OECD | 2002-2007 | 0,9-1,5% |
Czernich et al. (2009) | 25 negara OECD | 1996-2007 | 0,3-0,9% |
Garcia Zaballos and Lopez-Rivas (2012) | 26 negara Amerika Latin dan Karibia | 2003-2009 | 3,2% |
Qiang et al. (2009) | 120 negara berkembang | 1980-2006 | 1,21% |
Negara Berkembang | 1980-2006 | 1,38% | |
Scott (2012) | 120 negara berkembang | 1980-2011 | 1,19% |
Negara Berkembang | 1980-2011 | 1,35% |