Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 74 mengenai Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik. Kebijakan ini dianggap bakal memicu perkembangan e-commerce di Indonesia. Dampaknya, tren properti pun dapat berubah.
Senior Director PT Savills Consultants Indonesia Lucy Rumantir menyatakan hubungan perkembangan e-commerce dengan permintaan properti sangat erat. "Implikasinya kebutuhan terhadap toko retail berkurang, tetapi ada pertambahan ke arah yang berbeda seperti gudang dan pusat distribusi. Selain itu, e-commerce juga butuh kantor untuk manajemen," kata Lucy kepada wartawan di Jakarta, Rabu (30/8).
(Baca juga: Perbankan dan Asuransi Adaptasi Perilaku Millenial di Era Digital)
Dia memprediksi bisnis e-commerce yang mulai menggeser toko retail tradisional bakal mengakibatkan permintaan properti meningkat. Pertumbuhan manufaktur, aktivitas ekspor dan impor, kebutuhan produk konsumen dan peningkatan populasi menyebabkan kenaikan permintaan properti logistik di Indonesia.
Menurut data Statista, tahun lalu, Indonesia menempati peringkat pertama penjualan e-commerce retail dari business to consumer dengan nilai US$ 5,29 miliar. Diikuti Thailand US$ 2,89 miliar dan Singapura US$ 2,13 miliar.
Perkiraannya, penjualan e-commerce di Indonesia bakal meningkat 20% pada setiap tahunnya. Mengacu perhitungan ini, nilai penjualan bakal mencapai US$ 14,47 miliar pada 2021 dan bakal menyumbang hingga 8% untuk penjualan pasar retail.
(Baca juga: Menanti Petuah Jack Ma untuk Indonesia)
Sebagai perbandingan, penjualan sektor e-commerce di Republik Rakyat Tiongkok menyumbang 23% total penjualan pasar retail. Sehingga, terdapat banyak potensi di Indonesia untuk tumbuh.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi rumah tangga menyumbang 56% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus menjelaskan tahapan produksi sampai konsumsi butuh logistik yang besar.
"Penyedia jasa mulai mengembangkan bisnis logistik bahkan hingga perusahaan kecil," kata Anton.
Terkait e-commerce, dia menjelaskan kebutuhan gudang dan pusat distribusi akan meningkat karena bisnis e-commerce business to consumer jumlahnya sangat banyak. Contohnya Lazada, pada 2012 hanya memiliki 2 ribu meter persegi gudang namun mereka mampu berkembang 15 kali lipat dengan gudang sebesar 30 ribu hektar.
Peningkatan penjualan dua kali lipat hingga 2021 untuk menuju US$ 14,5 miliar bakal memicu peningkatan kebutuhan ruangan untuk logistik sebesar dua kali lipat. Anton memperkirakan akan ada kebutuhan 240 ribu meter persegi untuk pembangunan gudang dan pusat distribusi.
(Baca: Bos Alibaba, Jack Ma Resmi Jadi Penasihat e-Commerce Indonesia)
Dia juga berpendapat perkembangan e-commerce akan memicu permintaan perkantoran di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian Savills, jumlah perusahaan digital akan meningkat 6,5 kali menjadi 13 ribu perusahaan pada 2020.
"Asumsinya jika bisnis start-up mempekerjakan 5 orang, butuh kantor minimal sebesar 15 meter persegi," ujarnya lagi. Maka, dia menyimpulkan ada kebutuhan ruang perkantoran sebesar 1 juta meter persegi.
Namun, Anton mengaku perhitungan Savills belum mempertimbangkan porsi pembangunan sarana dan prasarana digital maupun fisik. Prediksinya dilakukan dengan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan e-commerce hingga lima tahun ke belakang.
(Baca: Jack Ma Jadi Penasihat, Menkominfo Minta e-Commerce Tak Perlu Resah)
Selain itu, masih ada beberapa aspek yang belum masuk ke pertimbangan prediksi seperti perkembangan internet dan penetrasi penggunanya. "Untuk internet memang merupakan isu yang krusial, kita harap pemerintah mengeluarkan keputusan yang mendukung infrastruktur digital," jelas Anton.