Pemerintah gencar mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk merambah ekosistem digital saat pandemi virus corona. Digitalisasi ini dinilai dapat meningkatkan keuntungan pelaku usaha, dan menghemat biaya ekspor.
Berdasarkan riset Asia Pacific MSME Trade Coalition (AMTC), digitalisasi dapat menghemat biaya ekspor pelaku UMKM di India, Tiongkok, Korea Selatan dan Thailand hingga US$ 339 Miliar. Selain itu, teknologi digital menghemat waktu untuk ekspor 29% an mereduksi biayanya hingga 82%.
Bain juga memperkirakan, ekonomi Asia Tenggara bisa meningkat US$ 1 triliun pada 2025, jika pelaku usahanya merambah e-commerce dan layanan digital lainnya. Ini tertuang dalam laporan bertajuk ‘Advancing Towards ASEAN Digital Integration’ pada 2018.
“UMKM Indonesia akan memetik keuntungan besar apabila terintegrasi secara penuh dengan teknologi digital,” ujar Executive Director Indonesia Services Dialogue (ISD) Devi Ariyani dikutip dari siaran pers, Senin (19/10).
Selain itu, digitalisasi dinilai dapat mendorong terciptanya perdagangan barang dan jasa lintasnegara. “Digitalisasi sektor jasa Indonesia sangat berguna untuk mendorong daya saing dan produktivitas pelaku industri,” katanya.
Untuk itu, kebijakan menyangkut sektor ekonomi digital sangat diperlukan, salah satunya terkait pertukaran data. Apalagi, studi McKinsey menunjukkan bahwa kontribusi pergerakan data dalam perekonomian global mencapai US$ 2,8 Triliun, dan diperkirakan US$ 11 Triliun pada 2025.
Selain itu, Devi menyoroti kebijakan yang mewajibkan pemain e-commerce asing untuk mendidikan kantor perwakilan, jika memiliki 1.000 konsumen dalam setahun. “Batasan ini terlalu rendah. Khawatir akan menghambat integrasi digital antara pemain Indonesia dan Internasional, sehingga akan kehilangan potensi bergabung pada rantai pasok global,” ujar dia.
Meski begitu, transformasi UMKM ke arah digital bukan tanpa kendala. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat, tingkat keberhasilan UMKM digital hanya sekitar 15%.
“Dari data-data yang diperoleh saat pelatihan, yang bertahan hanya 5-15%,” kata Deputi Bidang Pembiayaan Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman kepada Katadata.co.id, awal Oktober lalu (8/10).
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyampaikan, salah satu penyebab UMKM gagal merambah pasar digital karena minimnya pemahaman terkait teknologi. Oleh karena itu, edukasi pelaku usaha secara intens menjadi keharusan.
Penyebab kedua yakni UMKM lambat beradaptasi untuk menyesuaikan produk dengan minat konsumen. Ini karena pelaku usaha tidak memiliki kemampuan menganalisis kebutuhan pasar.
Ketiga, kurangnya pengetahuan menjalankan usaha online dan pemasaran produk di tengah ketatnya persaingan. Direktur Riset KIC Mulya Amri mengatakan, pelaku UMKM perlu beradaptasi untuk menjalankan operasional bisnisnya secara online.
Oleh karena itu, perlu ada pelatihan dan bimbingan. “Ini bertujuan mengembangkan kapasitas digital mereka," ujar Mulya dalam webinar bertajuk 'Digitalisasi UMKM: Tantangan dan Peluang', Agustus lalu (11/8).
Keempat, terbatasnya akses internet. Kelima, keterbatasan peralatan dalam menjalankan operasional bisnis secara online.
Berdasarkan survei KIC terhadap 206 responden, 15,5% UMKM di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) tidak memiliki ponsel pintar (smartphone).
Riset mencatat, 84% UMKM menggunakan ponsel dan 42,7% memakai laptop dengan koneksi internet untuk berjualan. Sedangkan 9,2% memakai laptop tanpa internet, dan 7,3% tidak mempunyai perangkat.
"Di Jakarta saja masih ada UMKM yang mempunyai smartphone, tetapi tidak memiliki pulsa. Tanpa pulsa, tentu mereka tidak bisa mengakses internet dan berjualan online," kata Mulya.
Padahal, pelaku usaha memanfaatkan gawai dan internet untuk berbagai kegiatan operasional, sebagaimana tecermin pada Databoks di bawah ini:
Keenam, kesiapan dari pelaku usahanya. Berdasarkan data KIC, indeks kesiapan digital Indonesia rerata 3,6 dari lima. Indikatornya yakni indeks optimisme menggunakan internet 4,06, kompetensi 3,8, keamanan 3,4, dan kenyamanan 3,06.
Selain itu, pelaku UMKM kesulitan memasarkan produk melalui internet karena tenaga kerja tidak siap, dana belum memadai, dan banyaknya pesaing.
Terakhir, mahalnya biaya logistik antarpulau di Indonesia, sehingga pelaku usaha di daerah kesulitan menjangkau pasar. Manager Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Asosiasi e-commerce Indonesia (iDEA) Rofi Uddarojat mengatakan, konsumen biasanya mempertimbangkan ongkos kirim.