Mewaspadai Banjir Impor Baju dan Sepatu di E-Commerce

Stanisic Vladimir/123rf
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
27/10/2020, 08.00 WIB

Survei Katadata Insight Center (KIC) terbaru menunjukkan, 34,2% konsumen menyukai pakaian dan 42,9% sepatu dari luar negeri. Padahal produksi kedua barang ini di dalam negeri cukup besar, dan bahkan menyumbang 10% terhadap total ekspor nasional. Di satu sisi, penjualan kedua produk ini merupakan yang tertinggi di e-commerce.

Dalam riset bertajuk ‘Perilaku Belanja Konsumen Indonesia’ tersebut, 87,2% dari 6.697 responden menyukai produk lokal. Akan tetapi, porsi konsumen yang menyukai baju dan sepatu impor mendekati separuhnya.

Sebanyak 35,7% dari pelanggan yang menyukai baju impor, memilih buatan Korea Selatan. Kemudian, 42,9% dari konsumen yang berkenan pada sepatu luar negeri, memilih buatan Amerika Serikat (AS). Survei dilakukan selama 13-17 Oktober, dengan responden berusia 17 hingga 65 tahun.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio menyampaikan bahwa mendorong konsumen Tanah Air untuk memakai produk busana lokal, merupakan tantangan tersendiri. “Kuliner, upayanya tidak terlalu berat. Kalau kriya dan fashion, warga Indonesia terkadang masih suka produk luar negeri,” katanya dalam seminar virtual bertajuk ‘Festival Usaha Milik Kaum Milenial’, Senin (26/10).

Baju dan sepatu impor menjadi preferensi hampir separuh responden, meskipun produksinya di dalam negeri tinggi. Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bahkan menunjukkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus tumbuh dari 3,83% di 2017 menjadi 15,35% tahun lalu.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor tersebut berkontribusi 1,24% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional per kuartal II. Namun, industri ini juga rentan terdampak produk impor.

Pada semester I, tekstil jadi masuk 10 besar produk yang paling banyak diimpor. Nilainya yakni US$ 138,8 juta per Juni.

Selain itu, Kemenperin mencatat bahwa industri alas kaki Indonesia memiliki 2,8% pangsa pasar global. Harga rata-rata produknya yang diekspor yakni US$ 16,7 atau Rp 244,8 ribu dan dinilai kompetitif.

Di satu sisi, riset KIC dan Kredivo sebelumnya menunjukkan bahwa produk busana berkontribusi 30% terhadap total transaksi di e-commerce. Begitu juga dengan sepatu yang masuk kategori aksesori fashion.

Busana masih menempati posisi teratas dari sisi penjualan di e-commerce sejak 2016 lalu, sebagaimana Databoks di bawah ini:

Selain itu, dalam survei bertajuk ‘Perilaku Belanja Konsumen Indonesia’ disebutkan bahwa 61,7% responden memilih barang elektronik impor. Kemudian, 75,4 % menyukai gadget buatan luar negeri ketimbang lokal.

Sedangkan berdasarkan data Statista, 70,1% dari total penduduk Indonesia diperkirakan memiliki ponsel pintar (smartphone). Angkanya tertera pada Databoks berikut:

Pada tahun lalu, Kemenperin menyatakan bahwa 90% produk yang dijual di e-commerce merupakan impor. Namun, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) membantah hal itu dan menyebutkan bahwa impor barang per paket yang penjualnya berasal dari luar negeri hanya 0,42%.

Berdasarkan laporan JP Morgan berjudul ‘E-Commerce Payments Trend: Indonesia’ pada 2019 pun menunjukkan, hanya 7% konsumen yang membeli produk impor di e-commerce. Namun, penjualan lintasbatas berkontribusi 20%.

Barang impor yang dibeli melalui di e-commerce paling banyak dari Tiongkok, kemudian Singapura dan Jepang. Namun, JP Morgan tidak memerinci nilainya.

Staf Ahli Bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mira Tayyiba mengatakan, pemerintah berfokus mendorong lebih banyak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk masuk ke ekosistem digital terlebih dulu. “Selanjutnya mengarah ke daya saing global,” ujarnya dalam seminar virtual bertajuk ‘Bangga Buatan Indonesia #SemuanyaAdaDisini’ yang diadakan oleh Katadata, Senin (26/10).

Oleh karena itu, pemerintah menggelar berbagai program untuk meningkatkan kualitas produk UMKM. Beberapa di antaranya yakni ‘kakak asuh’ untuk pendampingan, Pasar Digital (PaDi), Digital Kredit UMKM (DigiKU) hingga aplikasi bela pengadaan.

Itu dilakukan sembari mendorong transaksi lintasbatas melalui acara ASEAN Online Sale Day (AOSD) pada Agustus lalu. “Indonesia pesertanya hanya 16, sementara Singapura 96. Angka ini tidak merepresentasikan negara, tetapi kami menyadari bahas lintasbatas merupakan strategi bisnis,” katanya.

Oleh karena itu, pemerintah menilai perlu ada upaya untuk meningkatkan daya saing UMKM secara global. Selain itu, menjadikan e-commerce sebagai sarana untuk memperkenalkan produk Indonesia.

“Durian misalnya, masyarakat global hanya tahu itu dari Thailand,” ujar dia. “Produk apa yang sekiranya jika dijual di e-commerce, dapat dilihat sebagai ‘Indonesia sekali’.”

Pekan lalu, pemerintah sudah membuka toko online nasional di e-commerce Tiongkok, Pinduoduo. Sebelumnya juga sudah masuk melalui Alibaba.

Sedangkan CEO Tokopedia William Tanuwidjaja menyampaikan bahwa seluruh mitranya yang berjumlah sembilan juta lebih beroperasi di Indonesia. “Kami hanya menjembatani UMKM dan konsumen di Indonesia. Produknya juga di dalam negeri,” kata dia.

Ia mencatat, produk lokal di beberapa kategori sangat diminati pelanggan. Element Indonesia misalnya, menjual 200 unit sepeda lipat dalam 40 detik di Tokopedia pada awal Agustus lalu (3/8), sehingga masuk rekor MURI. 

Hal itu menjadi peluang bagi produsen lokal, di tengah meningkatnya permintaan sepeda dari Tiongkok.

Untuk mendorong penjualan produk lokal, Tokopedia mengandalkan berbagai strategi promosi untuk menarik konsumen. Program promosi yang digelar seperti bebas ongkos kirim (ongkir), uang kembali (cashback) hingga diskon bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB).

"Itu edukasi masyarakat agar mencoba atau tertarik. Seperti apa sih belanja online itu. Ujungnya ada manfaat bagi sembilan juta mitra UMKM Tokopedia," kata dia.

Mitigasi Banjir Barang Impor di E-Commerce

Kendati data idEA dan JP Morgan menunjukkan bahwa produk impor di e-commerce masih kecil, minat konsumen untuk membeli baju, sepatu hingga ponsel buatan luar negeri cukup tinggi. Pemerintah pun sudah menerbitkan beberapa aturan untuk mengantisipasi kenaikan impor.

Yang terbaru, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 68 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Alas Kaki, Elektronik, dan Sepeda Roda Dua dan Roda Tiga. Regulasi berlaku sejak akhir Agustus lalu (28/8).

Pada akhir tahun lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menurunkan ambang batas nilai impor barang kiriman yang dikenakan bea masuk dari US$ 75 (Rp 1,05 juta) menjadi US$ 3 (Rp 42 ribu) per invoice mulai 2020. Kebijakan ini terutama berlaku pada barang kiriman melalui e-commerce.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, kebijakan itu bertujuan menciptakan kompetisi yang sehat bagi pelaku usaha dalam negeri. "Terutama pada barang kiriman melalui perusahaan e-commerce, jasa titip, serta kantor pos," kata Heru dalam konferensi pers, akhir tahun lalu (23/12/2019).

Selain itu, menerapkan program anti-splitting sejak 2018. Splitting merupakan upaya yang dilakukan importir dengan memecah transaksi pembelian barang dari luar negeri agar bebas dari bea masuk.

Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah atau PP e-commerce pada November tahun lalu. Yang terbaru, mengadakan program Bangga Buatan Indonesia dan mendorong UMKM merambah ekosistem digital.

Sejak Mei lalu, setidaknya ada 2,7 juta UMKM yang mendigitalisasikan bisnisnya. Jumlahnya melampaui target dua juta pelaku usaha. Jumlah UMKM yang merambah ekosistem digital melampaui target 10 juta menjadi hampir 11 juta.

Meski begitu, jumlahnya sekitar 16% dibandingkan total pelaku UMKM di Indonesia, sebagaimana Databoks berikut:

Pemerintah juga mencatat, pesanan dan penjualan UMKM rerata meningkat dua kali lipat setelah mendigitalisasikan bisnisnya. Secara rinci, pesanan meningkat 125,8% dan penjualan 116%.

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan