Era Baru E-Commerce Indonesia: Pesan hingga Kirim Barang Hitungan Jam

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
18/11/2021, 18.58 WIB

Google, Temasek, dan Bain dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2021 memperkirakan, transaksi e-commerce Indonesia US$ 53 miliar atau Rp 754 triliun tahun ini. Tren perdagangan online di Tanah Air pun terus berkembang seiring besarnya nilai transaksi.

Tren terbaru e-commerce Nusantara yakni pemesanan hingga pengiriman yang dipercepat atau dikenal dengan quick commerce. Salah satu startup yang mengusung konsep ini yaitu Astro.

Startup yang baru berdiri pada September itu menawarkan layanan perdagangan online dengan menjual lebih dari 1.000 pilihan produk kebutuhan sehari-hari, seperti camilan, sayuran, buah hingga obat. Pengiriman barang ditarget 15 menit.

Awal bulan ini atau dua bulan sejak berdiri, Astro mendapat pendanaan US$ 4,5 juta dari beberapa investor seperti Global Founders Capital, AC Ventures, Lightspeed Venture Partners, dan Goodwater Capital.

Kemudian, Tokopedia meluncurkan layanan belanja online untuk produk kebutuhan pokok dengan waktu pengiriman maksimal dua jam yakni Tokopedia NOW!.

"Masyarakat semakin dipermudah untuk berbelanja ribuan pilihan produk dari penjual dengan lebih cepat dan efisien tanpa harus keluar rumah," kata Head of Strategy and Operations Tokopedia NOW!, Pranidhana Mahardhika dalam siaran pers, Rabu (17/11).

Layanan Tokopedia NOW! sudah tersedia di platform. Pengguna bisa mengakses layanan ini dengan mengetik ‘Now’ pada kolom pencarian di aplikasi.

Namun, layanan baru tersedia di Jakarta. Tokopedia akan memperluas layanan pengiriman cepat ini ke kota-kota lainnya.

TaniHub juga mengembangkan layanan Tani Instan. Namun, pengirimannya masih membutuhkan waktu maksimal sehari.

Tani Instan sudah diuji coba Jakarta Barat. “Kami akan menerapkannya ke wilayah lain,” ujar Chief Marketing Officer & Director of People and Culture TaniHub Group Ritchie Goenawan kepada Katadata.co.id, Selasa (16/11).

Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan mengatakan, sektor e-commerce memang menawarkan variasi layanan. Alhasil, akan ada banyak inovasi baru untuk mengisi ceruk kebutuhan pasar. 

"Layanan instan seperti quick commerce menjadi salah satu inovasi layanan e-commerce. Dia meraup pasar kebutuhan pokok dengan banyak mengirimkan produk segar," kata Edward kepada Katadata.co.id.

Sebelum quick commerce, tren belanja online di Indonesia diwarnai oleh social commerce.

Co-Founder sekaligus Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, layanan perdagangan online akan terus berubah sesuai struktur demografi pengguna. "Sehingga yang bertahan hanyalah yang bisa beradaptasi dengan cepat,” kata Willson kepada Katadata.co.id, akhir tahun lalu (26/10/2020).

Berdasarkan laporan McKinsey, social commerce adalah platform yang memfasilitasi jual-beli produk melalui media sosial. Sedangkan e-commerce memfasilitasi transaksi, termasuk pembayaran dan pengiriman.

Social commerce berkembang seiring langkah raksasa teknologi seperti Instagram, WhatsApp, TikTok, dan YouTube Google yang menyediakan fitur belanja online.

Di Tanah Air, startup jumbo seperti Gojek pun merambah social commerce melalui GoStore. Selain itu, ada beberapa perusahaan rintisan yang bergerak di sektor ini seperti Super, KitaBeli, Segari, Evermos, dan Desty.

Riset Paxel bertajuk ‘Paxel Buy & Send Insights’ pada 2019 menunjukkan, mayoritas UMKM memilih berjualan di media sosial. Alasannya, karena penggunaannya lebih mudah.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda pun memperkirakan, perkembangan belanja online mengarah kepada social commerce. Apalagi, beberapa platform seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp mengkaji penggunaan dompet digital.

Ditambah pemerintah belum mengatur social commerce. “Jadi lebih mudah untuk bertransaksi melalui media sosial. Apalagi tidak memungut biaya layanan seperti e-commerce,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, akhir tahun lalu (13/10/2020).

Namun, kelemahan bertransaksi di media sosial yakni keamanannya tidak terjamin. Ini karena pembayarannya tidak ditampung dalam rekening bersama, seperti di e-commerce.

“Lebih banyak potensi fraud. Tetapi, ke depan saya yakin platform social commerce akan memperbaiki hal ini,” ujar dia.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan