Blibli Segera IPO, Ini Bedanya dengan Ekosistem Tokopedia dan Shopee

Katadata/Desy Setyowati
Shopee, Blibli, Tokopedia, Bukalapak
Penulis: Desy Setyowati
17/10/2022, 15.34 WIB

Blibli yang didukung Grup Djarum berencana mencatatkan saham perdana alias initial public offering (IPO) awal bulan depan. E-commerce ini bersaing dengan Tokopedia dan Shopee yang memperluas layanan layaknya aplikasi super (superapp).

Berdasarkan prospektus IPO, masa penawaran awal berlangsung 17 - 24 Oktober. Sedangkan tanggal efektif diperkirakan pada 28 Oktober.

Selanjutnya, “masa penawaran umum atau IPO akan berlangsung pada 1 - 3 November,” demikian dikutip dari prospektus, Senin (17/10).

Sebelum IPO, Blibli merger dengan Tiket.com dan Ranch Market. Ketiganya membentuk entitas baru bernama Blibli Tiket.

Langkah serupa diambil oleh Tokopedia sebelum IPO. E-commerce bernuansa hijau ini merger dengan Gojek dan membentuk entitas anyar bernama GoTo.

Sedangkan Shopee memperluas layanan secara mandiri atau tanpa merger dengan startup lain. Lalu Bukalapak juga mengembangkan superapp, namun melalui kerja sama dengan pihak ketiga.

Blibli, Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak sama-sama memperluas layanan di luar bisnis inti mereka yani e-commerce. Namun caranya berbeda, ada yang merger, mengembangkan secara mandiri, dan ada juga yang bekerja sama.

Blibli Segera IPO

E-commerce yang didukung oleh Grup Djarum itu memulai tahapan IPO hari ini (17/10). PT Global Niaga Tbk atau Blibli (BELI) akan melepas 17,77 miliar saham atau sekitar 15% dari modal yang ditempatkan dan disetor oleh perusahaan.

Harga penawaran Rp 410 – Rp 460 per saham. Dengan demikian, Blibli diperkirakan mengantongi Rp 8,17 triliun dari IPO.

Sebagian besar dana yang diperoleh dari IPO akan dipakai untuk membayar utang. “Sekitar Rp 5 triliun,” kata direksi Blibli dikutip dari prospektus IPO, Senin (17/10).

Berdasarkan prospektus IPO, masa penawaran awal berlangsung 17 - 24 Oktober. Sedangkan tanggal efektif diperkirakan pada 28 Oktober.

Selanjutnya masa penawaran umum atau IPO akan berlangsung pada 1 - 3 November.

Sebelum IPO, Blibli pun merger dengan startup OTA Tiket.com dan Ranch Market. Ketiganya membentuk entitas baru bernama Blibli Tiket.

Logo Blibli dan Tiket.com (Blibli dan Tiket.com)

Blibli Saingi Tokopedia, Shopee, Bukalapak

Pendiri Blackberry Mike Lazaridis sempat menyampaikan definisi superapp pada 2010. Saat itu, ia menilai bahwa aplikasi super adalah ekosistem tertutup dari banyaknya aplikasi yang akan digunakan orang setiap hari.

Beragam layanan itu tersedia di dalam satu aplikasi. Jika merujuk pada definisi tersebut, Blibli, Tokopedia, Shopee, Bukalapak membentuk layanan seperti aplikasi super atau superapp.

Perbandingan layanan Blibli, Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak sebagai berikut:

 BlibliTokopediaShopeeBukalapak
E-commerce B2C
E-commerce B2B
Pesan-antar makanan-
Logistik (B2B)-
Pengantaran barang (B2C)--
Grocery
Produk digital
Online Travel Agent--
Bank Digital*-
Paylater
Otomotif
Warung 
Konsultasi Hukum---
Properti---
Lakupandai---
Investasi

Layanan-layanan itu disediakan secara mandiri oleh startup maupun bekerja sama. Dari sisi logistik misalnya, keempat e-commerce rerata membangun gudang atau warehouse sendiri.

Blibli menjalankan layanan logistik, dengan mengoperasikan 14 warehouses . Total luas warehouses-nya lebih dari 130.000 m2.

Selain itu, mempunyai 33 hub dan armada pengiriman BES Paket dengan lebih dari 750 tenaga ahli.

Kelengkapan layanan itu memungkin Blibli menyediakan gratis ongkir atau ongkos kirim, solusi pengiriman dua jam sampai, trade-in dan scheduled delivery. ingga kebijakan retur dengan rentang waktu sampai 15 hari.

Blibli, Tokopedia, Shopee dan Bukalapak bekerja sama dengan mitra logistik untuk metode pengiriman. Namun Shopee juga menyediakan layanan yang dikembangkan sendiri bernama Shopee Express.

Kenapa Jadi SuperApp?

Ketua Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro sempat mengatakan kepada Katadata.co.id bahwa superapp adalah platform yang menyediakan layanan yang terdiversifikasi.

Ia menilai, langkah itu bertujuan cross-selling atau menjual produk baru pada pelanggan yang sudah ada. Selain itu, untuk menjaga pengguna setia dan meningkatkan transaksi, sehingga mempercepat upaya perusahaan meraup untung.

Associate Professor di Department of Strategy & Policy di National University of Singapore (NUS) Business School Nitin Pangarkar mengatakan, ada tiga faktor untuk mengukur prospek bisnis superapp.Pertama, kematangan pasar.

Jumlah pengguna ponsel pintar (smartphone) dan kecepatan internet menjadi pertimbangan. Di Indonesia, jumlahnya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Namun, Nitin menilai bahwa kematangan pasar juga bergantung pada tingkat persaingan dan pemain mapan di pasar.

“Semakin matang pasar, terutama terkait pemain mapan, maka semakin sulit bagi perusahaan yang belum menjadi superapp, untuk membuat aplikasi super yang kredibel seperti WeChat di Tiongkok,” ujar dia dikutip dari Business Times, pada September 2019.

Kedua, medan pertempuran yang dipilih oleh superapp. “Setiap negara memiliki konteks berbeda dan mungkin memerlukan pendekatan yang disesuaikan,” kata Nitin.

Ia menyampaikan, perusahaan harus menemukan ‘layanan jangkar’ yang dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan signifikan. “Jika calon tidak dapat menemukannya, mungkin sia-sia untuk mencoba menjadi superapp,” ujar dia.

Ketiga, cara membangun superapp yakni dengan membuat sendiri layanannya atau bermitra. Grab misalnya, mengadopsi model kemitraan, sehingga kebutuhan sumber dayanya lebih rendah.

“Namun model ini kurang menguntungkan, karena sebagian besar profit akan diberikan kepada penyedia layanan,” katanya.