Sebuah satuan tugas (satgas) akan dibentuk menjelang peringatan Hari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Nasional yang jatuh pada pada 12 Agustus mendatang. Satgas itu bernama Satgas Percepatan Perlindungan UMKM. Satgas ini dibentuk seiring maraknya social commerce dari pelbagai platform asing, salah satunya Project S dari TikTok.
Satgas ini dibentuk di tengah mandeknya revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, pembentukan Satgas Percepatan Perlindungan UMKM merupakan amanat Presiden Joko Widodo untuk melindungi UMKM.
“Project S TikTok yang merupakan penggabungan social media dan platform belanja online dapat mengancam kelangsungan dan pertumbuhan ekonomi UMKM di Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (22/7).
Project S yang dijalankan melalui TikTok Shop bertujuan untuk memperbesar cakupan bisnis TikTok di berbagai negara, termasuk Indonesia. Melalui Project S, TikTok diduga akan menggunakan data mengenai produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di Cina. “Terus terang memang kemajuan teknologi ini memerlukan cara berpikir baru untuk mengatasinya,” ungkap Budi.
Satgas Percepatan Perlindungan UMKM bentukan Kementerian Kominfo ini akan melibatkan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), serta lembaga lainnya yang turut berkepentingan mengurusi UMKM. Menurut Budi, sinergi ini akan membantu penemuan solusi yang tepat.
“E-commerce ini kan teknologi atau pengawasan platformnya mungkin dari Kominfo, tetapi banyak policy dari kementerian dan lembaga lain, khususnya Kemendag, karena soal kebijakan impor. Nanti mungkin di dalam satgas itu akan kita rumuskan (aturan) bersama,” imbuhnya.
Sementara itu, ekonom dari Universitas Gadjah Mada Eddy Junarsin menilai Permendag 50/2020 yang tak kunjung direvisi dapat menjadi pukulan telak bagi UMKM. Pasalnya, platform e-commerce dan social commerce asing cukup agresif menjadikan Indonesia sebagai target utama pasar.
Laporan Momentum Works mengungkapkan, pada tahun 2022 saja konsumen Indonesia menghabiskan US$52 miliar atau sekitar Rp777 triliun untuk berbelanja online. Jumlah itu lebih dari separuh nilai belanja online konsumen di Asia Tenggara yang mencapai US$99,5 miliar, atau sekitar Rp1.487 triliun. Tak ayal jika Indonesia menjadi pangsa pasar yang potensial bagi platform e-commerce dan social commerce.
Menurut Eddy, pemerintah perlu tegas membatasi transaksi melalui social commerce hanya untuk produk dengan harga tertentu. Misalnya, ditetapkan harga per produk yang dapat diperdagangkan minimal berharga US$100. Dengan demikian, produk-produk yang bisa diperjualbelikan oleh platform media sosial hanya yang diproduksi di dalam negeri, atau didominasi oleh produk UMKM lokal.
“Selain dengan regulasi, pemerintah juga wajib memberikan bantuan teknis, seperti memperbanyak pelatihan, bantuan manajemen, pinjaman kredit lunak, dan lain sebagainya. Hal itu akan lebih bermanfaat untuk memperkuat daya saing UMKM terhadap produk-produk impor,” tegas Eddy.
Revisi Permendag 50/2020 sedianya akan mengatur ulang sejumlah ketentuan, salah satunya mengenai predatory pricing. Hal itu diduga banyak dilakukan oleh platform e-commerce asing yang juga kerap melakukan praktik cross border.
“Predatory pricing itu bisa membunuh produk dalam negeri dan UMKM, dan itu sudah tidak masuk akal. Di mana ada kekuatan ekonomi besar yang bakar uang yang membunuh UMKM,” ujar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki beberapa waktu lalu.
Revisi Permendag 50/2020 akan melindungi industri dalam negeri, termasuk UMKM, konsumen, dan e-commerce lokal. Dengan revisi ini, harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga jual produk UMKM. Revisi ini diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce, sebelum nantinya diterbitkan aturan yang lebih detail.