Proses revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk menahan laju impor langsung dalam platform (cross border) diperkirakan tidak akan tuntas dalam waktu dekat.
Draf regulasi yang sebelumnya sudah disepakati oleh kementerian/lembaga terkait dikabarkan berubah. Hal ini menyusul adanya rencana penyusunan positive list atau daftar barang-barang impor yang diperbolehkan untuk dijual pada platform dagang elektronik. Barang-barang dalam daftar positive list akan diizinkan masuk ke Indonesia melalui mekanisme cross border.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Nailul Huda mengatakan, penerapan positive list bakal melemahkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memproduksi barang-barang yang masuk dalam daftar positif.
“Sebagai contoh, barang yang belum bisa diproduksi dalam negeri boleh dibeli melalui skema cross border commerce karena masuk positive list. Itu pasti menyebabkan banjirnya produk impor dan kecil peluang bagi pelaku (usaha) dalam negeri untuk memproduksi dari dalam negeri,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (23/8).
Menurut Nailul, positive list kurang efektif mengurangi barang cross border commerce. “Harga minimal US$100 tidak akan berpengaruh kepada para UMKM tersebut dan terancam sulit berkompetisi dengan barang impor cross border yang jauh lebih murah,” ungkapnya.
Jika positive list tetap dijalankan, maka revisi Permendag 50/2020 tidak akan maksimal dalam membendung laju impor cross border yang telah menekan UMKM dalam beberapa tahun belakangan. Pembatasan harga barang US$100 tetap menjadi pilihan terbaik untuk mendukung perkembangan UMKM lokal.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah menilai revisi regulasi ini sudah cukup baik, asalkan barang impor yang masuk tercatat secara resmi sudah tersertifikasi Standar Nasional Indonesia. Pun, sudah lama Hippindo meminta perlakuan yang sama antara ritel offline dan online.
“Selain itu, perdagangan online itu belum banyak diatur. Sementara di ritel (offline), kita ada kewajiban 80 persen produk kami harus lokal,” ucap Budihardjo.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki menyatakan tidak setuju dengan usulan pencatatan poin positive list dalam draf revisi Permendag 50/2020. Menurutnya, positive list tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo yang ingin mendorong hilirisasi di dalam negeri.
“Kebijakan substitusi impor untuk belanja pemerintah juga sudah diterapkan harus membeli produk dalam negeri,” ujarnya.
Teten menuturkan, alih-alih membuat positive list yang memuat daftar barang impor yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dengan harga di bawah US$100, pemerintah seharusnya membuat kebijakan lain. Yakni, memaksa pelaku industri dari luar negeri membuat pabrik dan berproduksi di Indonesia.
Pada sisi lain, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengatakan kebijakan positive list dipertimbangkan untuk melengkapi kebijakan perdagangan cross border. Hal tersebut mengingat terdapat jenis-jenis barang tertentu dapat diproduksi oleh pelaku UMKM maupun industri dalam negeri.
Ia menjelaskan, pengawasan positive list akan dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait karena bersifat lintas sektoral. Penerapan positive list bakal dilakukan bersama para penyelenggara PMSE. Penyelenggara PMSE memfilter produk-produk asal luar negeri yang boleh dijual oleh para pedagang (merchant) pada e-commerce.