Pemerintah melarang social commerce seperti TikTok Shop bertransaksi langsung di platform media sosial. Peneliti menilai bahwa kebijakan ini tidak cukup dan perlu aturan untuk mengatur penjualan produk impor.
Peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef) Nailul Huda mengatakan regulasi memisahkan media sosial dan social e-commerce seperti TikTok dan TikTok Shop kurang efektif. Sebab, algoritma TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial.
Menurutnya, yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah mendorong TikTok memperoleh izin sebagai social commerce.
“Praktik pemisahan aplikasi itu sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan aplikasi utamanya,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (25/9).
Dia mengatakan, pemerintah perlu mengatur agar tercipta level playing field yang setara di antara perusahaan e-commerce. “Yang seharusnya dilakukan adalah mengatur social commerce ini agar bisa setara dengan ecommerce ataupun pedagang offline,” kata dia.
Untuk melindungi UMKM, Nailul menilai pemerintah perlu memperketat produk impor di e-commerce. Selain itu memberikan disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
Ia mengatakan pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce. “Social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi, akan banyak loophole di situ,” kata dia.
Berikut saran proteksi produk UMKM:
- Mengatur detail social commerce untuk disetarakan dengan ecommerce, mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan.
- Semua online commerce diwajibkan melakukan tag-ing barang impor. Setelah itu ada dua hal yang bisa dilakukan
Memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh dapat promo dari platform.
Memberikan insentif berupa promo ke produk lokal.
Menyediakan minimal 30% etalase platform untuk produk lokal.
- Produk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan lainnya.
Pemerintah sudah sepakat merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 yang mengatur pelarangan social commerce seperti TikTok Shop.
"Sudah diputuskan hari ini, sore, saya tandatangani revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 menjadi permendag tahun 2023," kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan kepada wartawan di Istana Merdeka pada Senin (25/9).
Zulkifli menjelaskan revisi Permendag 50 tahun 2020 bakal melarang keberadaan social e-commerce untuk menjual produk melalui mekanisme transaksi langsung. Dia mengatakan social e-commerce hanya boleh mempromosikan barang dan jasa layaknya iklan produk yang kerap tayang di televisi.
Hasil revisi Permendag itu nantinya mengatur social e-commerce hanya memfasilitasi kegiatan promosi barang atau jasa sekaligus melarang kegiatan transaksi jual beli secara langsung. Regulasi anyar itu juga mewajibkan pemisahan antara fungsi platform e-commerce dan media sosial.
"Media sosial tidak ada kaitannya, tidak boleh transaksi dan bayar langsung. Jadi harus dipisah sehingga algoritmanya tidak semua dikuasai dan mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis," ujar Zulkifli.
Lebih lanjut, kata Zulkifli, revisi Permendag 50 tahun 2020 juga mengatur mekanisme sanksi bagi platform e-commerce yang masih terintegrasi dengan layanan sosial media-nya. Penalti yang dibebankan kepada pelanggar dilakukan secara bertahap melalui peringatan hingga penutupan platform media sosial.