Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) memproyeksikan total penyaluran pinjaman berbasis syariah hingga akhir tahun bisa meningkat hingga lima kali lipat atau sekitar Rp 4,6 triliun seiring dengan tingginya permintaan. Meski demikian, asosiasi menyebut masih ada tantangan utama dalam mencapai target penyaluran.
Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya mengatakan, sepanjang tahun lalu, penyaluran pinjaman dari sektor syariah mencapai Rp 1 triliun. Jumlah itu tak hanya dari fintech peer to peer lending, tetapi juga dari Inovasi Keuangan Digital (IKD).
(Baca: Setelah UKM dan Pendidikan, Fintech Kredit Pintar Incar Pasar Syariah)
Ronald menjelaskan, ekosistem syariah semakin diminati lantaran permintaan konsumen semakin meningkat, mulai dari layanan wisata (travel), makanan, hingga kosmetik halal.
"Tahun ini kami optimistis (penyaluran pinjaman) bisa mencapai lima kali lipat dari penyaluran tahun lalu sekitar Rp 4,6 triliun. Saya pikir itu masuk akal," ujar Ronald saat ditemui di Jakarta, Selasa (14/1).
Meskipun industri terus bertumbuh, Ronald menilai masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi. Contohnya terkait masalah infrastuktur, yang mana banyak dari perbankan syariah yang ada saat ini belum masuk kategori perbankan bermodal besar (Buku IV), sehingga banyak perusahaan tidak bisa mengeluarkan gerbang pembayaran (payment gateway) sendiri.
(Baca: Startup Pintek Bidik Pendanaan Lembaga Pendidikan dan Layanan Syariah)
Keterbatasan infrastruktur ini pula yang menurutnya menyebabkan fintech syariah sulit juga mendapat pendanaan dari modal ventura.
"Nah, (payment gateway) ini adalah salah satu kunci buat dapat investor secepatnya. Karena dengan seperti itu pencatatan lebih cepat dan ini juga bisa jadi merupakan tantangan mengapa fintech syariah belum dalam venture capital," ujar Ronald.
Lebih lanjut, Kepala Eksekutif Fintech Pendanaan Syariah Lutfi Adhiansyah juga memaparkan tiga tantangan yang tengah dihadapi oleh industri fintech syariah di Indonesia.
Sama dengan penjelasan sebelumnya, Lutfi menyebut tantangan pertama masih di seputar infrastruktur. Menurutnya, sebagai rekan kerja sama, sampai saat ini belum banyak perbankan syariah yang masuk banyak bermodal besar.
Baru Bank Syariah negara (BSN) yang masuk kategori bank umum kelompok usaha (Buku III) baru.
"Konsekuensinya apa? Kalau belum buku III, channel digitalnya belum sebanyak bank bermodal besar," katanya.
Kedua, dari segi literasi. Menurutnya, masyarakat kini perlu diedukasi soal konsep fintech syariah, termasuk mengenai konsep bagi hasil serta untung-rugi. Sehingga tidak ada yang pasti dalam investasi.
Ketiga, menurutnya, yakni dari segi permodalan. Lutfi mengatakan, saat ini belum banyak venture capital atau pemodal yang tertarik untuk masuk ke industri fintech syariah.
"Akibatmya, para pemain fintech syariah yang tumbuh karena berjuang sendiri, bukan seperti startup yang dari awal dirancang permodalannya dengan venture capital. Jadi sebenarnya tantangannya lebih ke arah dari segi persiapan modal," ujar Lutfi.
Meski banyak tantangan, dia optimistis bahwa penyaluran pinjaman hingga akhir tahun bisa mencapai Rp 4 triliun. Alasannya, tingkat kebutuhan pinjaman di sektor syariah semakin diminati, salah satunya dari sektor wisata umrah. Contohnya, untuk ibadah umrah, seorang jamaah bisa membutuhkan biaya sebkitar Rp 20 juta.
"Katakanlah, 80% di antaranya dengan biaya talangan. Berarti 20 juta dikali 800 ribu (jemaah), itu sudah berapa ? " ujar Lutfi. Selain umrah, ia mengatakan ada pula sektor lain yang diminati konsumen yakni dari segi makanan atau kosmetik halal.