Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi telah memblokir sekitar 1.900 platform pinjaman online ilegal. Ada beberapa ciri situs maupun aplikasi penyedia layanan serupa teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) yang tidak resmi.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan, ada lima ciri platform pinjaman online ilegal. Pertama, tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Masyarakat bisa mengetahui daftar nama perusahaan fintech lending berikut aplikasinya melalui situs resmi OJK. “Mereka tidak terdaftar, apalagi berizin,” kata Kuseryansyah kepada Katadata.co.id, hari ini (27/12).
Kedua, pengelola platform fintech lending ilegal itu meminta akses ke daftar telepon (phone book) dan media penyimpanan (storage) pada ponsel pengguna. Data-data itu digunakan oleh pelaku untuk menagih pinjaman.
Padahal, fintech lending yang terdaftar di OJK hanya diperbolehkan mengakses tiga fitur pada ponsel pengguna yaitu kamera, microphone dan lokasi. "Penagihan yang mereka (pinjaman online ilegal) lakukan sangat tidak beretika, mulai dari menghina bahkan mengancam pelanggan," kata dia.
Ketiga, perusahaan menawarkan proses pengajuan pinjaman yang sangat cepat. Keempat, biaya administrasi, bunga pinjaman dan denda yang dikenakan kepada peminjam (borrower) sangat tinggi.
Kelima, pengelola fintech lending ilegal tidak memiliki lokasi usaha yang jelas. (Baca: Untung Miliaran, Bos Pinjaman Online Ilegal Asal Tiongkok Ditangkap)
Ketua Bidang Pendanaan Multiguna AFPI Dino Martin menambahkan, fintech lending yang terdaftar di OJK terikat pada beberapa aturan. Di antaranya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016, dan lainnya.
"Seluruh aturan ini memang sangat mengekang para pelaku fintech, namun tujuannya amat sangat baik,” kata dia. Tujuan dari regulasi itu yankni melindungi kepentingan para stakeholders, utamanya masyarakat Indonesia.
Karena itu, menurut dia, ciri keenam pinjaman online ilegal yakni penagihan pinjaman yang tidak beretika. Padahal, fintech lending yang resmi harus menghentikan denda jika peminjam terlambat membayar lebih dari 90 hari.
Ciri ketujuh, platform pinjaman online ilegal tidak memiliki standar keamanan. Perusahaan resmi biasanya menggunakan tanda tangan digital guna memastikan data-data peminjam valid.
(Baca: Satgas Waspada Investasi Blokir 1.898 Pinjaman Online Ilegal)
Pada kesempatan berbeda, CEO sekaligus Co Founder Batumbu Sonny Ch Joseph menyebutkan delapan ciri fintech lending yang resmi. Pertama, memiliki tanda daftar dan izin dari OJK. Kedua, memberikan informasi kepada publik terkait biaya yang dikenakan, bunganya, penyaluran pinjaman, dan lainnya.
Ketiga, terdaftar sebagai anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Keempat, memiliki direksi yang berpengalaman di bidang jasa keuangan. Kelima, lokasi kantornya jelas.
Keenam, memiliki kontak atau sarana pengaduan untuk pengguna. Ketujuh, proses lalu lintas dana melalui sistem perbankan. Terakhir, hanya boleh mengakses tiga fitur ponsel.
Pada akhir pekan lalu (20/12), Polres Metro Jakarta Utara menangkap lima tersangka terkait pinjaman online ilegal dengan nama usaha PT Barracuda Fintech (BR) dan PT Vega Data (VD). Dua di antaranya berasal dari Tiongkok.
(Baca: Asosiasi Proses Dugaan Pelanggaran Dua Fintech Pinjaman terkait Bunga)
Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Budhi Herdi Susianto mengatakan, mereka meraup untung puluhan miliar rupiah. Sebab, kedua perusahaan fintech lending ilegal itu memiliki sekitar 500 ribu nasabah.
Keduanya memang tidak menerapkan bunga pinjaman, melainkan biaya administrasi dan denda keterlambatan pembayaran. Perolehan dari biaya administrasi per aplikasi saja mencapai Rp 25 miliar.
Jika terlambat membayar, peminjam dikenakan denda Rp 50 ribu per hari. “Yang jadi korban fintech ilegal ini merupakan masyarakat kelas bawah dengan rata-rata pinjaman Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta," ujar Budhi.
Budhi mencontohkan, nasabah meminjam Rp 1,5 juta maka yang diterima hanya Rp 1,1 juta. Itu artinya, biaya administrasi yang dibayarkan peminjam mencapai Rp 400 ribu. Belum lagi, peminjam harus membayar denda Rp 50 ribu per hari jika terlambat.
"Ini sangat membahayakan. Maka, fintech ilegal harus kami tegakkan secara hukum, agar masyarakat tidak menjadi korban," kata dia.
(Baca: Diduga Kartel Terkait Bunga Pinjaman, Begini Jawaban Asosiasi Fintech)