OVO bakal berfokus pada tiga layanan dan mengurangi strategi 'bakar uang' pada tahun depan. Pernyataan ini muncul di tengah isu Grup Lippo yang menjual dua pertiga saham di perusahaan teknologi finansial (fintech) pembayaran tersebut.
Hal itu disampaikan oleh CEO OVO Jason Thompson saat wawancara khusus dengan jurnalis Kr-Asia, Khamila Mulia di sela-sela acara Wild Digital Conference 2019. Fokus pertama, mempercepat pertumbuhan layanan pinjaman di ekosistemnya.
“Sebagian besar akan berfokus pada pedagang dan beberapa menyasar pinjaman (bersifat) konsumtif,” kata Jason dikutip dari Kr-Asia, Selasa (3/12).
Kedua, mengeksekusi layanan investasi digital (e-investasi) bersama Bareksa. “Saya pikir, kami bisa belajar dari kisah sukses Tiongkok dengan pemain investasi digital seperti Yu'e Bao dan melihat bagaimana kami bisa mengeksekusi (hal itu) di Indonesia,” katanya.
(Baca: Lippo Dikabarkan Jual Ovo kepada Emtek, Akan Dimerger dengan DANA?)
Terakhir, berfokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. “Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap merilisnya tahun depan. Jadi kami beralih dari pembayaran ke layanan keuangan pada tahun ini dan 2020,” kata dia.
Dalam mengembangkan layanan keuangan ini, OVO menerapkan ekosistem terbuka. Untuk pinjaman misalnya, OVO mengandalkan layanan PT Indonusa Bara Sejahtera atau Taralite. Perusahaan fintech pembiayaan (lending) itu diakuisisi OVO pada awal tahun ini.
Pinjaman konsumtif tersedia melalui OVO paylater. Lalu ada OVO Talangan Siaga yang merupakan pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra pengemudi GrabCar. Pinjaman ini untuk biaya operasional sehari-hari dan kebutuhan pribadi mitra pengemudi.
(Baca: Tak Kuat ‘Bakar Uang’, Bos Lippo Akui Jual Dua Pertiga Saham OVO)
Sedangkan pinjaman bersifat produktif melalui OVO Dana Tara. Ini merupakan pinjaman modal untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) khusus mitra penjual di Tokopedia. “Kami akan meningkatkan skala (layanan pinjaman) ini tahun depan,” kata dia.
Lalu, apakah OVO masih akan menerapkan strategi ‘bakar uang’ tahun depan? Mengingat, Grup Lippo memutuskan untuk menjual sahamnya di OVO karena tak kuat memasok dana untuk promosi.
Jason mengatakan, promosi seperti uang kembali (cashback) hanya berlaku untuk periode tertentu. “Tetapi tidak berkelanjutan,” kata dia.
(Baca: Potensi Nilai Keuangan Digital Asia Tenggara Rp 840 Triliun pada 2025)
Ia pun menganalogikan strategi ‘bakar uang’ dengan rumus fisika. “Jika Anda akan memindahkan objek besar, maka harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal gerakan. Begitu mendapatkan momentum, maka Anda dapat mengurangi energi itu,” kata dia. Di industri fintech pembayaran, kata dia, energi yang dimaksud berasal dari subsidi.
Jason menegaskan, perusahaannya memiliki peta jalan yang jelas untuk menuju kinerja bisnis keberlanjutan dan profitabilitas. “Kami akan mengurangi (strategi ‘bakar uang’) ini secara signifikan tahun depan,” kata dia.
Ia optimistis, pemain lainnya di industri fintech pembayaran bakal melakukan hal serupa. “Jadi cashback atau promosi lainnya masih penting, tetapi kami harus merasionalisasikannya dan harus ada jalur penuruna subsidi,” katanya.
(Baca: Google: Potensi Pasar yang Diperebutkan Gojek dan Grab Rp 83,8 Triliun)