Kredit macet atau tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman di atas 90 hari (TWP 90) layanan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) melonjak menjadi 7,99% per Juli lalu. Pengurus baru Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pun berencana membentuk gugus tugas peningkatan kualitas aset.
“Itu menjadi misi pertama kepengurusan baru,” kata Ketua Umum AFPI terpilih Adrian Gunadi, kemarin sore (30/9). “Tujuannya memperbaiki TWP 90. Rasio kredit macet ditangani dengan sistematis.”
Ia juga mendorong agar penyelenggara fintech lending berfokus menyasar sektor yang mampu bertahan di masa pandemi corona. Caranya dengan mengandalkan teknologi dalam mengukur risiko kredit.
“Hindari sektor yang berisiko. Verifikasi validasi harus terkoreksi. Ini tugas asosiasi,” ujar Adrian.
AFPI juga mengandalkan pusat data yang disebut pusdafil untuk memitigasi risiko kredit macet. Sejauh ini, ‘alat’ yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu telah menjaring 26 juta data peminjam.
Selain itu, asosiasi akan memperluas kolaborasi dengan berbagai ekosistem, mulai dari pemerintahan, perbankan hingga perusahaan teknologi lainnya. Ada lembaga keuangan atau ekosistem teknologi lain seperti e-commerce dan berbagi tumpangan (ride-hailing). Itu potensial karena terus tumbuh,” ujarnya.
Beberapa sektor pemerintahan juga dianggap potensial seperti kesehatan, bantuan sosial (bansos), dan dana bahan pangan. Peluang-peluang ini bisa diandalkan untuk meningkatkan kualitas aset.
Melonjaknya kredit macet pada platform fintech lending dapat dilihat dari tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman di bawah 90 hari (TKB 90) yang terus menurun sejak awal tahun. Ini artinya keterlambatan peminjam membayar cicilan atau TWP 90 meningkat, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta mengatakan, regulator sudah memanggil beberapa penyelenggara fintech lending yang TWP-nya di atas 8%. “Kami lakukan pembinaan terkait tindak lanjutnya,” kata dia.
Ia mencatat, kredit macet melonjak karena penyaluran pinjaman yang masih berjalan atau oustanding turun. Nilainya secara berurutan sejak Maret hingga Juli yakni Rp 14,79 triliun, Rp 13,75 triliun, Rp 12,86 triliun, Rp 11,77 triliun, dan Rp 11,94 triliun.
Meski begitu, nilai penyaluran pinjaman oleh penyelenggara fintech lending secara kumulatif terus meningkat. Ini terlihat pada Databoks berikut:
Tris meminta agar penyelenggara fintech lending meningkatkan manajemen risiko pinjaman. Selain itu, mengoptimalkan sistem pemeringkat kredit.
Sebelumnya, juru bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan bahwa kredit macet fintech lending melonjak karena pandemi Covid-19 berdampak terhadap pendapatan peminjam. “Peningkatannya masih dalam batas kewajaran,” kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (21/9).
Alasannya, risiko pendanaan melalui fintech lending memang tinggi. Oleh karena itu, bunganya juga lebih tinggi dibandingan perbankan.
Namun, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, melonjaknya kredit macet dapat berimplikasi pada menurunnya kepeceryaan pemberi pinjaman atau investor. "Akan membandingkan risiko dengan tingkat keuntungan memasukkan uang ke fintech lending,” kata dia kepada Katadata.co.id.
Efek lainnya, dapat menahan laju rasio penyaluran kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selain itu, “bukan tidak mungkin akan ada perusahaan fintech yang tutup permanen karena tidak sanggup bersaing dalam menjaga kredit macet,” katanya.