Kredit macet atau tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman di atas 90 hari (TWP 90) layanan teknologi finansial pembiayaan atau fintech lending terus meningkat, dan menjadi 8,88% per Agustus. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), asosiasi, dan penyelenggara pun menerapkan sejumlah cara untuk menahan laju ini.
Tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman di bawah 90 hari (TKB 90) terus menurun sejak awal tahun ini. Penurunan ini menunjukkan bahwa keterlambatan peminjam membayar cicilan atau TWP meningkat.
Besaran TKB per Agustus 91,12%, sehingga TWP-nya mencapai 8,88%. “Laporan pinjaman macet seluruh platform dilaporkan bulanan ke OJK,” kata juru bicara OJK Sekar Putih Djarot kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).
Sedangkan penurunan TKB 90 dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Sekar sempat menyampaikan bahwa otoritas telah membina penyelenggara fintech lending yang TWP-nya tinggi. Regulator meminta mereka membuat rencana aksi (action plan) dan mengevaluasi skemanya.
Selain itu, "mengingatkan mereka untuk meningkatkan manajemen risiko dan memanfaatkan penilaian kredit (credit scoring)," kata Sekar kepada Katadata.co.id, pekan lalu (7/10).
Ia juga mengimbau pemberi pinjaman (lender) memanfaatkan fasilitas asuransi kredit yang disediakan oleh beberapa penyelenggara fintech lending. Ini bertujuan meminimalkan risiko pendanaan di tengah pandemi Covid-19.
OJK berharap para penyelengara dapat memaksimalkan sistem pemeringkat kredit atau credit scoring dan memitigasi risiko yang muncul akibat pandemi virus corona.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta juga mengaku sudah memanggil beberapa penyelenggara yang TWP-nya di atas 8%. “Kami lakukan pembinaan terkait tindak lanjutnya,” kata dia saat mengikuti acara pemilihan ketua AFPI yang baru, dua pekan lalu (30/9).
Saat itu, ia menjelaskan bahwa kredit macet melonjak karena penyaluran pinjaman yang masih berjalan atau oustanding menurun. Secara berurutan sejak Maret hingga Juli, nilainya yakni Rp 14,79 triliun, Rp 13,75 triliun, Rp 12,86 triliun, Rp 11,77 triliun, dan Rp 11,94 triliun.
Namun outstanding pada Agustus meningkat menjadi Rp 12,13 triliun, tetapi kredit macet tetap melonjak.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan, perekonomian melambat sejak Maret karena adanya pandemi corona. Hal ini berdampak terhadap bisnis pelaku usaha.
“Ada perlambatan usaha lintas sektoral. Ada perubahan profil risiko pengguna,” kata Kuseryansyah dalam Webinar Peran Literasi Keuangan Digital Bantu Pemulihan Ekonomi Nasional, pekan lalu (7/10).
Untuk menahan laju kredit macet, Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi berencana membentuk gugus tugas peningkatan kualitas aset. "Ini akan dibentuk sebelum 20 Oktober," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).
Pembentukan gugus tugas itu bertujuan memperbaiki TWP 90 secara sistematis. "Penyaluran pendanaan tidak hanya di depan, tapi bagaimana kami memitigasi risiko di tengah, dan melihat proses di belakang,” ujarnya, akhir bulan lalu (30/9).
Oleh karena itu, ia mendorong penyelenggara fintech lending berfokus menyasar sektor yang mampu bertahan di masa krisis ini. Caranya dengan mengandalkan teknologi dalam mengukur risiko kredit.
“Hindari sektor yang berisiko. Verifikasi dan validasi harus terkoreksi. Ini tugas asosiasi,” ujar Adrian.
AFPI juga mengandalkan pusat data yang disebut pusdafil untuk memitigasi risiko kredit macet. Sejauh ini, ‘alat’ yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu telah menjaring 26 juta data peminjam.
Selain itu, asosiasi akan memperluas kolaborasi dengan berbagai ekosistem, mulai dari pemerintah, perbankan hingga perusahaan teknologi lainnya. “Ada lembaga keuangan atau ekosistem teknologi lain seperti e-commerce dan berbagi tumpangan (ride-hailing). Itu potensial karena terus tumbuh,” ujarnya.
Beberapa sektor pemerintahan juga dianggap potensial seperti kesehatan, bantuan sosial (bansos), dan dana bahan pangan. Peluang-peluang ini bisa diandalkan untuk meningkatkan kualitas aset.
Aplikasi e-commerce, layanan pemerintah, transportasi hingga kesehatan memang diminati selama pandemi corona di Indonesia, bahkan ASEAN. Ini tecermin pada Databoks di bawah ini:
OJK sudah berkoordinasi dengan AFPI dan pemerintah provinsi DKI Jakarta bulan lalu, terkait proyek kolaborasi. Dana bansos yang dikelola oleh Pemprov DKI nantinya dapat disalurkan melalui fintech lending.
Namun ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh fintech lending. Pertama, hanya perusahaan yang memiliki izin. Berdasarkan data OJK, baru 33 yang mendapatkan izin, dari total 161 penyelenggara yang terdaftar.
Kedua, memenuhi minimum modal. Namun, OJK dan AFPI tidak memerinci batasannya.
Selain menyasar sektor yang ramai digunakan selama pandemi, AFPI akan berfokus pada penagihan. “Strategi collection ditingkatkan dan berkolaborasi dengan pihak ketiga,” kata Adrian.
Beberapa penyelenggara fintech lending memang sudah memperketat proses pengajuan pinjaman. Modalku misalnya, menerapkan assessment menyeluruh saat pengajuan pinjaman untuk memastikan peminjam mampu melunasi.
Setelahnya, perusahaan rutin memantau dan berkomunikasi dengan peminjam. “Ketika ada keterlambat pembayaran, kami akan mencari solusi pemenuhan kewajiban melalui aktivitas collection,” kata Co-founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya, akhir pekan lalu (8/10).
Co-founder sekaligus CEO KoinWorks Benedicto Haryono juga mengantisipasi risiko kredit macet sejak penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Maret lalu. Selama Maret-Juni, perusahaan menyalurkan pinjaman Rp 250 miliar, dengan rasio kredit macet dijaga 1%.
Selama pandemi, perusahaan hanya menyasar sektor UMKM potensial, seperti pedagang online di e-commerce maupun media sosial. Ini karena transaksinya rerata masih meningkat, lantaran layanannya diminati sebagaimana Databoks di bawah ini:
KoinWorks juga meluncurkan tiga layanan baru yang diminati dan dibutuhkan saat pandemi yakni emas, obligasi, dan pembayaran gaji atau KoinGaji. "Kami melihat, ketiga produk itu cocok diluncurkan saat pandemi," kata dia.
Sedangkan Akseleran tetap menggenjot penyaluran pinjaman yang tumbuh 42% secara tahunan (year on year/yoy) per kuartal III. Perusahaan menyalurkan kredit Rp 255 miliar kepada 200 lebih UMKM selama Juli-September.
Kendati begitu, Co-Founder sekaligus CEO Akseleran Ivan Tambunan menegaskan tetap menjaga rasio kredit bermasalah di bawah 0,3%.
Sedangkan startup fintech lending khusus pendidikan, Cicil punya cara berbeda untuk menakan kredit macet yakni meluncurkan fitur Cicil Jobs. Melalui platform ini, mahasiswa peminjam dapat melamar pekerjaan sebagai tenaga survei, pengumpulan data, akuisisi mitra dan pengguna, internal perusahaan, dan influencer.
Co-Founder sekaligus CEO Cicil Edward Widjonarko mengatakan, kemampuan mahasiswa peminjam membayar cicilan berkurang selama pandemi.
Tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman maksimal 90 hari setelah jatuh tempo atau TKB 90 mencapai 97,22% selama pegabluk. Artinya, 2,78% membayar cicilan lebih dari 90 hari.
"Kami harus bertanggung jawab. Bukan hanya kepada mahasiswa, tetapi juga pemberi pinjaman (lender),” kata Edward saat konferensi pers virtual, pertengahan September lalu (11/9).
Meski begitu, nilai penyaluran pinjaman melalui penyelenggara fintech lending terus meningkat, sebagaimana Databoks berikut:
Namun pertumbuhan penyaluran pinjaman secara tahunan terus menurun. Pertumbuhannya secara berurutan sejak Januari hingga Juli yakni 239,85%, 225,58%, 208,83%, 186,54%, 166,03%, 153,23%, dan 134,91%. Padahal nilainya mencapai 440,61% pada Juli 2019.
(REVISI pada paragraf 14 dan 23, pada Pukul 16.31, Senin, 12 Oktober 2020)