Tiga Sisi Penangkal Risiko Keamanan Transaksi Digital saat Pandemi

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/aww.
Ilustrasi, penjaga loket menunjukkan kode pembayaran digital di pintu masuk objek wisata alam Lombongo, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Minggu (12/7/2020).
21/10/2020, 18.07 WIB

Bank Indonesia (BI) mencatat, transaksi pembayaran menggunakan platform digital melonjak saat pandemi corona. Namun, regulator juga menyoroti risiko keamanannya.

Berdasarkan data BI, transaksi digital meningkat 37,8% dibandingkan sebelum adanya pandemi Covid-19. Penggunaan uang elektronik juga naik 65%, sementara ATM, kartu debit dan kredit turun sekitar 18,9%.

“Banyak pengguna baru layanan pembayaran digital. Jumlahnya naik signifikan," ujar Principal Economist Payment System Policy Department BI Agung Bayu Purwoko dalam acara ‘Dinamika Sistem Pembayaran di Era Pandemi’, Rabu (21/10).

Di tengah lonjakan permintaan tersebut, literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah. Berdasarkan Global World Digital Competitiveness Index yang dirilis oleh Institute for Management Development (IMD), literasi digital Indonesia menempati urutan 56 dari 63 negara.

Di satu sisi, penipu melakukan beragam cara untuk menipu konsumen, salah satunya dengan rekayasa sosial (social engineering). Pengguna yang tidak memahami layanan digital, bisa masuk dalam jebakan.

BI pun memitigasi hal itu dari tiga sisi, yakni konsumen, perusahaan, dan industri. Dari sisi konsumen, regulator menggencarkan edukasi. “Konsumen seringkali lupa risiko keamanan, jika ditawarkan layanan mudah dan murah melalui pembayaran digital," ujarnya.

Agung mengatakan, pelaku kejahatan siber biasanya menyasar data pribadi konsumen agar dapat masuk ke akun keuangan. "Banyak yang mengirimkan foto KTP melalui WhatsApp. Ini bisa disalahgunakan," ujar dia.

Selain itu, BI mengecek secara ketat perusahaan penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) yang mendaftar. “Transaksi pembayaran itu dasarnya kepercayaan. Jadi jangan sampai ada celah. Standar keamanannya kami periksa," katanya.

Terakhir, BI mencermati keamanan sistem industri pembayaran digital. Regulator pun membuat cetak biru (blue print) tentang digitalisasi sistem pembayaran 2025, yang diluncurkan tahun lalu. 

Dalam cetak biru itu, bank sentral membuat berbagai inisiatif pengembangan sistem pembayaran digital. Tiga di antaranya pembangunan hub data, pengembangan kebijakan terkait data konsumen, dan kerangka kerja keamanan siber.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai, regulasi dan kebijakan terkait keamanan sistem pembayaran di Indonesia sudah siap. Namun, penegakan hukum masih menjadi persoalan.

Selain itu, modus kejahatan siber semakin beragam. Alhasil, regulasi harus terus disesuaikan dengan kondisi terkini.

"Banyak bank yang terkena masalah kejahatan siber sehingga terpaksa menalangi dahulu. Biaya untuk menjaga keamanan sistem pembayaran menjadi tinggi," ujar Aviliani.

Kejahatan siber memang meningkat selama pandemi virus corona. Pusat Operasi Kemananan Siber Nasional (Pusopskamsinas) Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, ada 88,4 juta serangan siber selama Januari hingga medio April. Bahkan, kasusnya mencapai 3,34 juta per hari pada 12 Maret.

Data Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri juga menerima 649 laporan terkait penipuan online per September. Kemudian, ada laporan terkait akses ilegal (138 laporan), manipulasi data (71), dan pencurian data pribadi (39).

Berdasarkan laporan The International Criminal Police Organization (Interpol) 2020, Asia Tenggara menjadi sasaran penjahat siber yang beroperasi dengan cara menipu dan mengelabui korban, atau phishing. Indonesia menjadi target utama pelaku penipuan.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan