Harga Bitcoin Anjlok Setelah Cetak Rekor Tertinggi, Apa Penyebabnya?

wikimedia.org
Ilustrasi bitcoin
Penulis: Desy Setyowati
20/4/2021, 09.24 WIB

Harga bitcoin anjlok lebih dari 16% ke level US$ 52.148 atau sekitar Rp 758,6 juta per koin pada perdagangan Minggu (18/4). Padahal, harganya sempat menyentuh rekor US$ 64.747 atau Rp 942 juta pada pekan lalu (14/4).

Pada perdagangan Pagi ini (20/4), harganya mulai naik tipis ke level US$ 55.180 atau Rp 802,7 juta. “Bitcoin terjebak di zona senja US$ 50.000 – US$ 60.000,” kata Chief Investment Officer sekaligus Managing Partner ExoAlpha David Lifchitz dikutip dari CoinDesk, Selasa (20/4).

Kepala operasi bursa OKCoin yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat (AS), Jason Lau mengatakan, mayoritas volume pada perdagangan Minggu terkait dengan derivatif. Derivatif adalah sekuritas atau kontrak yang dapat diperdagangkan, yang nilainya diperoleh dari aset acuan seperti bitcoin.

Data agregator Bybt menunjukkan, likuidasi mendekati US$ 10 miliar pada perdagangan Minggu. Selain itu, perdagangan dengan teknik leverage menyentuh rekor.

Pedagang menggunakan leverage untuk mendapatkan keuntungan dari fluktuasi nilai tukar bitcoin atau mata uang kripto (cryptocurrency) lainnya. Oleh karena itu, “seperti biasa, alasan utama (harga bitcoin anjlok) yakni kombinasi dari pedagang derivatif yang memiliki leverage berlebihan," kata Jason.

AFR pun melaporkan, situs web berbasis kripto menunjukkan bahwa anjloknya harga dipicu oleh pemegang bitcoin asal Tiongkok yang menjual 9.000 koin melalui bursa Binance. Selain itu, didukung oleh spekulan jangka pendek yang ingin meraup untung dari fluktuasi harga.

Jason menilai, prospek bitcoin tetap cerah dalam jangka panjang, salah satu alasannya karena didukung bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China (PBOC). “Didukung oleh pernyataan PBOC bahwa bitcoin muncul sebagai kelas aset yang dapat diinvestasikan," ujar dia.

Di satu sisi, penurunan harga bitcoin dinilai karena rumor bahwa Departemen Keuangan AS akan membuat peraturan anti-pencucian uang yang baru. Walaupun Bloomberg kemudian melaporkan, otoritas enggan mengomentari kabar ini.

Sebelumnya, ada spekulasi bahwa AS dan regulator lainnya akan memperkenalkan aturan yang lebih ketat terkait pertukaran kripto. Aturan ini berkaitan dengan pelaporan transaksi lintas batas, ambang batas, dan yang mencurigakan, serta kewajiban mengenal konsumen (know your costumer), atau bisnis pengiriman uang.

Profesor Universitas Swinburne sekaligus dekan penelitian digital Yang Xiang mengatakan, regulator benar jika menganggap bitcoin sebagai risiko pencucian uang. “Beberapa tahun yang lalu ketika ransomware terjadi secara global, penjahat dunia maya meminta tebusan dalam bitcoin,” katanya dikutip dari AFR, Senin (19/4).

“Jadi itu berarti mereka mencoba untuk menghindari penelusuan ke mana uang mengalir,” kata dia. “Saya pikir itulah sifat cryptocurrency. Ini berpotensi menjadi alasan pencucian uang karena secara teknis tidak ada cara untuk melacak dari mana uang itu berasal dan ke mana perginya.”

Pada 15 April, bank sentral Turki juga melarang cryptocurrency untuk pembayaran. Alasannya, mata uang kripto memiliki risiko seputar potensi kerugian dan kurangnya mekanisme pengawasan.

Begitu juga dengan India. Parlemen mengajukan undang-undang yang mengusulkan pelarangan cryptocurrency. Sedangkan pemerintah mengkaji peluncuran mata uang digital sendiri.