Dianggap Monopoli, Google Play Store Raup Pendapatan Rp 161 Triliun

ANTARA FOTO/REUTERS/Arnd Wiegmann/File Photo/AWW/sa.
Arnd Wiegmann/File Photo BERKAS FOTO: Seorang pria berjalan melewati logo Google di depan gedung perkantoran di Zurich, Swiss, Rabu (1/7/2021). Google dianggap memonopoli melalui layanan Google Play Store.
Editor: Maesaroh
30/8/2021, 10.06 WIB

Sejumlah negara bagian atau distrik di Amerika Serikat (AS) menuntut Google atas dugaan pelanggaran anti-monopoli pada layanan toko aplikasi mereka Google Play Store. Dalam persidangan, terungkap untuk pertama kalinya, bahwa pendapatan Google Play Store dalam setahun pada 2019 bisa mencapai US$ 11,2 miliar atau Rp 161 triliun.

Jaksa Agung Utah dan 36 negara bagian lain di AS berpendapat bahwa Google menghasilkan keuntungan besar melalui layanan Google Play Store. Sebab, layanan itu mengambil potongan sebesar 30% dari setiap barang digital yang dijual di dalam aplikasi. 

"Potongan Google ini sangat tinggi, sehingga menyedot keuntungan pengembang aplikasi," kata penggugat dikutip dari Reuters pada akhir pekan lalu (28/8).

Melalui persidangan, penggugat menganggap Google telah memberlakukan pembatasan pada pengembang besar, seperti Riot Games untuk mencegah mereka meninggalkan Play Store.  Selain itu, perusahaan yang didirikan Larry Page dan Sergey Brin pada tahun 1998 itu dianggap mengintegrasikan Play Store dengan produk dan layanan lainnya, serta mengharuskannya untuk diinstal sebelum ditampilkan dengan jelas di desktop.

Beragam upaya Google ini dianggap menghambat persaingan dengan para pengembang aplikasi di perangkat Android. Sebab, sebagian besar pembeli akan diarahkan ke toko aplikasi Google untuk berbelanja. 

Dalam pengadilan juga terungkap untuk pertama kalinya, bahwa Google Play Store meraup penghasilan fantastis. Google Play Store meraih pendapatan pada 2019 sebesar US$ 11,2 miliar serta laba kotor US$ 8,5 miliar. Layanan itu meraup pendapatan operasional US$ 7 miliar, untuk margin operasi lebih dari 62%.

Google menegaskan  gugatan dalam persidangan tetap tidak berdasar dan salah mencirikan layanannya sebagai bentuk monopoli. "Data yang digunakan itu salah mencirikan bisnis kami," kata perusahaan yang berkantor di Silicon Valley, California itu.

Menurut Google, pendapatan yang sudah terungkap itu berdasarkan penjualan aplikasi, pembelian dalam aplikasi, dan iklan toko aplikasi.  Sebelumnya, perusahaan yang juga memiliki platform Youtube tersebut  sudah mendapatkan kritikan atas layanan toko aplikasi mereka.  Namun, kritikan tidak hanya datang kepada Google, Apple pun juga tidak kebal kritik.

Parlemen AS dan pengembang perangkat lunak (software) menuduh Google dan Apple monopoli lewat toko aplikasi. Kedua raksasa teknologi AS dianggap mempunyai kekuatan dan bisa menekan pengembang dengan biaya layanan yang mahal. 

Senat AS dari Partai Demokrat Amy Klobuchar menganggap besaran potongan 30% baik dari Google dan Apple cukup memberatkan pengembang. 
"Mereka mengenakan biaya berlebihan yang memengaruhi persaingan," kata Amy dikutip dari Reuters, Kamis (22/8). Ini membuat pengembang aplikasi terpaksa menaikkan harga berlangganan bagi pengguna.

Google dan Apple juga bahkan digugat oleh beberapa pengembang aplikasi, seperti Spotify, developer gim Epic Games, dan pengembang aplikasi Match. Ini terkait pengenaan komisi 30% yang dianggap tidak adil.
"Ini kontrol monopoli tangan besi," kata Penasihat Umum Match Jared Sine.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan